Damar memasuki rumah dengan langkah tergesa--menyadari keadaan pintu yang tak dikunci padahal ia sudah menyuruh sang ibu untuk menguncinya.
Ia melangkahkan kakinya dengan cepat menaiki tangga dan menuju ke arah kamar sang ibu.
Brak!
Damar membanting pintu dengan kencang, membuat suaranya terdengar nyaring hingga menyebar pada seisi rumah. Atensinya langsung tertuju pada seorang wanita paruh baya yang terkulai di ujung ruangan.
Damar sempat bergeming sesaat lalu langsung menghampiri sosok sang ibu yang kini tak sadarkan diri. Ia mengangkat kepala sang ibu dan meletakkannya di atas pahanya sembari menepuk-nepuk pipi tirus wanita tersebut dengan panik.
Prang!
Damar menyembunyikan kepala sang ibu di balik tubuhnya, ia menoleh ke arah jendela yang kini sudah pecah dengan serpihan kaca dimana-mana. Ia bisa lihat sebuah kertas nampak diisi dengan batu yang digunakan untuk melempari rumahnya.
Ia mengambil kertas tersebut dan membacanya. Setelah membaca apa isi surat tersebut ia mengepalkan tangannya hingga kuku-kuku tangannya memutih akibat kerasnya ia mengepalkan tangannya.
"Pria bejat! Brengsek lo!"
Damar mengumpat dalam hati, ia bergegas mengangkat tubuh sang ibu dan segera membawanya menuju rumah sakit.
---
Damar merasakan sekujur badannya sakit semua, ia mengangkat kepalanya yang semalaman tertidur dalam posisi duduk di samping brankar sang ibu yang masih dalam keadaan pingsan.
"Buk, bangun... Kalau ibuk juga sakit gini gimana Damar jaga kalian semua sekaligus? Buk, kakak masih di rawat inap karena keguguran buk, suami kakak juga masih koma buk. Damar gak bisa jaga kalian semua sekaligus gini.. buk, bangun. Buk, maafin Damar..."
Damar tak melanjutkan ucapannya, kepalanya tertunduk dengan air mata yang perlahan berhasil lolos, sekuat apapun dirinya ia juga bisa merasakan lelah.
Damar menggenggam tangan sang ibu dengan tangan bergetar, "Damar lalai jaga ibuk. Maafin Damar buk," lirihnya sebelum menangis sejadi-jadinya di samping sang ibu.
Setelah beberapa saat menangis, Damar membuang nafas panjang dan mengambil ponsel dari dalam sakunya.
Mencari seseorang dan menekan tombol bergambar telepon, ia mengusap-usap punggung tangan sang ibu sembari menunggu panggilan tersebut diangkat.
"Hal--"
"Bim, gue titip izin. Gak bisa masuk hari ini, kayanya ntar gue ga bisa ikut jagain Alen juga, makasih." Damar berujar dengan cepat lalu memencet tombol merah yang berada di layar.
Membuat sosok yang di seberang mengernyit keheranan, bahkan ia baru akan bilang bahwa sosok pemilik ponsel sedang pergi ke kamar mandi dan sang penelpon sudah berbicara dengan secepat kilat.
"Iya," jawabnya lalu terdiam setelahnya.
"Ada apa?" Tanya pemilik ponsel yang baru tiba setelah dari kamar mandi.
"Damar telpon, titip izin katanya. Gak bisa masuk terus kayanya ga bisa jagain Alen juga, gitu katanya," jawab sang lawan bicara sembari menyerahkan ponsel tersebut pada sang pemilik.
"Oh iya-iya, ntar buatin ya. Guru-guru mah kenal tulisan gue, lo kan bisa bikin tulisan lo biar beda tuh, lo bikin art aja," ujar Bima pada gadis yang tak lain adalah Kiana.
Sang empu mengerling malas, "mentang-mentang ya." Bima hanya terkekeh mendengar jawaban dari gadis di hadapannya ini.
"Kasus kemarin gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Im Yours.
Fanfiction"Percintaan itu memuakkan," ujar Aleena Gasha Zinantya. "Gak punya pacar tapi punya support system itu asik," ujar orang lain yang berakhir terikat dengan hubungan 'kekasih', Aruna Rumantara. "Jomblo itu asik," ujar seorang lain yang tetap menjomblo...