CAPTER 17

207 27 57
                                    

Setelah hampir satu jam di rumah sakit, pria itu lantas menggerakkan tungkai kakinya keluar dari tempat pelayanan kesehatan, bergegas kembali ke kantor untuk menemui putri kecil sekaligus sekretarisnya itu, saat ini kecepatan mobil yang dikendarai Hendra mencapai maksimal.

Kini, Hendra tiba di perusahaan miliknya, memarkirkan mobil di tempat yang sudah tersedia, langkah kakinya bergegas memasuki kantor untuk bertemu dengan sekretaris itu, saat baru berjalan dua langkah, ternyata orang yang ingin ditemui sudah berada di hadapannya, gadis itu sedang memainkan ponsel.

"Vinella," sapa sang manager

Mendengar suara itu, sang empu yang  sedang memainkan benda pipih, lantas menoleh.

"Pak Hendra?"

"Sedang apa, kamu? Kenapa belum pulang?"

"A-anu, saya tadi cari bapak ke ruangan, ternyata bapak nggak ada,"tutur Vinella gugup.

"Kenapa, kamu mencari saya?,"imbuh Hendra

"Ada yang mau saya tanyakan, soal rapat tadi, pak"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Vinella mengangguk. "Boleh, pak," ujarnya kemudian.

Hendra memegang tangan Vinella bergegas memasuki lobi, Vinella merasa aneh dengan perilaku bos nya itu "kenapa, pak bos pegang tangan gue, ya? Mau dilepasin tapi nggak enak, gimana ini?"tutur Vinella bermonolog dalam hati

Hendra menghentikan langkahnya, saat ia saat ia menemukan sebuah kursi di dekat ruang administrasi, tampak semua karyawan kantor memperhatikan gerak gerik Hendra dan putrinya itu mereka tampak menatap heran keduanya.

"Duduk di sini,"perintah sang manager.

Gadis itu mengangguk." Baik, pak." Kemudian Vinella meletakkan bokongnya pada kursi tamu

"Jadi, begini sebenarnya, beberapa tahun terakhir ini saya sedang mencari anak kandung saya, dulu saya menaruh anak itu di panti asuhan, dan namanya persis seperti kamu," tutur Hendra memberikan penjelasan

"Kalau boleh tahu, umurnya berapa?"

"Saya nggak tahu, sekarang umurnya berapa, tapi saya menelantarkan dia saat masih bayi,"ujar Hendra

Vinella menatap heran kepada managernya itu, kemudian atensinya beralih menatap ke sembarang tempat. Dirinya merasa bingung dan aneh secara bersamaan "kenapa kebetulan banget, ya?" ujar Vinella bermonolog dalam hati

"Kenapa, diem?" tanya Hendra

"Ehm, saya juga saat ini sedang mencari ayah saya, pak."

Saat sedang berbincang hangat, tiba- tiba sebuah kertas jatuh dari saku celana milik Hendra, kini sorot mata keduanya beralih melihat kertas itu, kemudian Vinella bergegas mengambil kertas tersebut. Dirinya membuka kertas yang sedari tadi terlipat rapi. Pupil matanya membesar saat melihat surat hasil tes DNA itu, kemudian beralih melihat Hendra.

"Maaf kalau saya lancang, tadi saya mengambil rambut kamu tanpa izin," tutur Hendra.

"Ja-jadi, pak Hendra Papa saya?" tanya Vinella

"Iya, Vinella saya orang tua kamu," ujar Hendra.

Cairan bening yang sedari ditahan oleh lelaki itu, kini membasahi pipinya, begitupun dengan Vinella, dirinya menangis sembari menutup mulut menggunakan tangan. Kemudian tangan gadis itu terulur untuk memeluk lelaki paruh baya dihadapannya

°°°

Vinella menangis di pelukan sang ayah, hari sudah gelap, matahari tak menampakkan sinarnya lagi, kini berganti, bulan menemani malam. Setelah menumpahkan kerinduannya kepada sang ayah, Vinella memutuskan untuk pulang ke rumah, kaki jenjangnya melangkah keluar dari lobi. Hendra pun mengekori Vinella, berniat mengajak putri kecilnya itu untuk pulang bersama

Kini seorang manager, dam asisten itu tiba di sebuah rumah milik ayah angkat Vinella, Adrian Ganendra. Sejujurnya, Adrian sudah mengetahui maksud dan tujuan ayah kandung Vinella itu, untuk mengambil kembali  anak manja kesayangannya, ralat bukan hanya kesayangan ayah kandungnya, tapi kesayangan ayah angkatnya juga

Namun, tak masalah bagi Adrian, kebahagiaan Vinella yang utama. Adrian mempersilahkan sahabatnya itu untuk masuk, Hendra pun menuruti perintah tuan rumah

"Aku meminta izin, untuk mengambil kembali putriku. Aku ingin membawanya bersamaku," tutur Hendra dengan lantang.

"Silahkan saja, kamu tidak perlu meminta izin kepada saya, dia itu putrimu, darah daging mu sendiri," tutur Adrian lalu menghela nafas.

Di lain tempat, Vinella sedang mengemas pakaian ke dalam koper, dibantu sang ibu. Citra merasa bahagia melihat Vinella saat ini, netranya memancarkan sinar, yang jarang sekali ia lihat.

Berbeda dengan Citra, ia bahagia, sekaligus merasa sedih. Betapa tidak, anak yang ia asuh sedari kecil ia rawat, kini menemukan malaikat baik yang sebenarnya.

Tak berselang lama, Vinella selesai membereskan barang barang miliknya. Vinella dan sang ibu bergegas keluar dari bilik tidur itu. Namun, saat kaki jenjang miliknya sampai diambang pintu, ia menoleh sekali lagi, memperhatikan setiap sudut kamar, yang telah menemaninya selama ini.

Kini, dirinya mantap meninggalkan tempat itu, ia bergegas menemui ayah kandungnya, yang berada di ruang tamu.

Hendra yang melihat Vinella sudah rapih lengkap dengan koper di yang ia bawa, hendak berdiri dari duduknya.

"Ayo, Pa," ajak Vinella dengan riang gembira.

"Semuanya, sudah siap? Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Hendra lembut.

"Nggak ada, semua udah aku siapin," lanjut Vinella.

"Oke, ayo kita berangkat"

"Papa, Vivi pamit, ya?" ujar Vinella kepada Adrian.

"Iyaa, sayang, hati hati ya. Selalu jaga kesehatan, ya nak!"

Citra menangis, tak rela jika gadis itu pergi dari rumah, terlebih lagi, Vinella membawa keceriaan bagi dirinya dan sang suami. Vinella yang melihat Citra menangis, lantas menghampirinya

"Vivi pamit ya, ma. Vivi mau ngucapin makasih buat mama, udah ngerawat Vivi dari kecil, udah sediain rumah saat Vivi nggak punya rumah. Makasih udah anggap Vivi layaknya darah daging sendiri," ujar Vinella kemudian menyeka air mata

"Iyaa sayang, hati hati, ya mama doain semoga kamu bahagia selalu," ujar Citra kemudian tersenyum.

Vinella memeluk sang ibu sebagai tanda terima kasih, kemudian melangkah meninggalkan rumah itu.

Vinella memasuki mobil milik Hendra, kemudian mobil tersebut berlalu meninggalkan rumah milik Adrian. Sementara, Citra dan Adrian menatap mobil tersebut sampai tak terlihat lagi. Sementara Hendra dan Vinella sedang dalam perjalanan, berniat singgah ke pemakaman terlebih dahulu, sebelum akhirnya pulang ke rumah pria paruh baya itu.

Tiba di pemakaman, kini Hendra tengah bersimpuh di pemakaman sang istri. Nama Mikha Wulandari tertera di nisan tersebut. Tak terkecuali Vinella, yang mengikuti gerak gerik sang ayah kandung.

"Semenjak kerja di rumah Sherly, mama menderita asma, Pa," tutur Vinella memulai pembicaraan.

"Papa sama sekali nggak tau soal itu, nak," imbuh Hendra.

"Ikhlasin Mama, ya, Pa. Mama udah tenang di sana,"ujar Vinella sembari mengelus pundak sang ayah untuk menenangkan.

Hendra tak menjawab, ia langsung memeluk putri semata wayang itu. Mereka memutuskan pulang ke rumah milik Hendra, Vinella memasuki mobil sang ayah, disusul dengan Hendra. Ayah dan anak itu melajukan mobil yang mereka tumpangi, berlalu meninggalkan tempat pemakaman itu.

Haloo readers!! Aku kembali setelah berhari- hari aku libur update. Aku mengulur waktu, biar makin penasaran, hehehe. Makasih buat kalian yang sudah setia menunggu lanjutan dari cerita ini. Semoga kalian suka, ya!
🦋🦋🦋

Ranuyy daily
♥️

































































The Story of VINELLA(REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang