13. Crazy Wife

52 5 17
                                    

"Aku dengar Ertland sedang dilanda wabah darah beracun, lihatlah tanpa Ertlasia menyentuh mereka, Ertland sudah hancur sendiri." Eliza menguping pembicaraan dua orang gadis yang sedang berbelanja sembari membereskan barang-barangnya, bagaimanapun Eliza pernah masuk ke dunia Ertland itu dan apakah darah beracun itu disebabkan oleh Hana? Jika jiwanya saja sudah kembali seperti ini, berarti jiwa ratu Zaura juga? 

"Ya, benar sekali. Aku harap di Ertlasia tidak ada yang menerima berkah darah beracun apalagi seorang perempuan."

"Lebih mengerikan kalau itu adalah anak keturunan Dewa, bagaimana jika dia menguasai sihirnya?"

"Memangnya apa yang akan terjadi?" celetuk Eliza di tengah-tengah percakapan itu, dua orang gadis itu menoleh pada Eliza dengan sinis.

"Kau menguping, ya?"

"Tidak, hanya terdengar saja," elak Eliza. Dua orang gadis itu menghela napasnya, mana mungkin terdengar jika tidak menguping, aneh saja ada orang yang mengurusi urusan orang lain.

"Karena Dewa itu sangat hebat dengan sihirnya, hanya saja yang aku tahu anak keturunannya tidak terlalu pandai karena mereka pemalas," ujar gadis bernama Geya dan diangguki oleh Cassy temannya.

"Dan setahuku ada putranya yang bernama Bastian, dia tewas di tangan ayahnya sendiri karena berhubungan dengan salah satu anak Dewi, setahuku itu dilarang."

"Kau hebat sekali bisa tahu sejarah, darimana kau belajar?" tanya Eliza, sebenarnya ia tidak tahu-menahu tentang seluk-beluk itu, Dewi juga tidak pernah menjelaskan secara detail padanya.

"Kau tidak perlu tahu."

"Pelit sekali!" Geya dan Cassy tertawa mendengarnya, obrolan mereka terhenti kala melihat seorang gadis yang layaknya malaikat maut bagi penduduk Ertlasia. Gadis itu adalah putri duke Deathsia yang terkenal dengan perbuatan kejamnya, seringkali menyiksa penduduk yang tidak bersalah, melaporkan perbuatan itu pada rajapun rasanya percuma, karena yang ada sang pelapor hanya akan berakhir mendekap di penjara.

"Di mana penjual ubi!?" teriak putri Azura, semua orang teralihkan atensinya pada putri bangsawan berambut merah itu. Eliza yang merasa, ia menundukkan pandangannya, takut saja jika pedagang lain menunjuk dirinya dan membawanya ke hadapan putri Azura, sudah seperti menghampiri maut saja.

"Eliza kau angkat tanganmu!" bisik Geya menyenggol tangan Eliza, Eliza yang mendengar itu segera saja mendelik tajam, bisa-bisanya ia ternistakan di sini.

"Bagaimana kalau aku mati!?"

"Daripada banyak penduduk yang mati hari ini, lebih baik kau saja yang mati, cepatlah!" titah Cassy.

"Kancut babi kalian!" Eliza menahan napasnya kala para pengawal yang mendampingi kehadiran putri Azura kini mulai mendekat berjalan ke arahnya. Geya dan Cassy segera saja berlari menjauh dari Eliza, mereka tidak mau jika saja Eliza bernasib sial dan mereka juga terkena karena dekat dekat.

"Kau penjual ubi?"

"A--aku--"

"Ikut kami." Lihatlah bahkan Eliza saja belum mengatakan bahwa dirinya penjual ubi, bagaimana mereka bisa tahu. Eliza mengangguk penuh ragu, langkahnya pun pelan sehingga pengawal itu terpaksa menarik paksa tangannya untuk Eliza cepat.

"Lambat sekali!"

"A--aku bukan penjual ubi, Tuan."

"Jangan berbohong." Pengawal itu membawa Eliza ke depan putri Azura dan mereka mulai meninggalkan tempat, para pedagang di sana bernapas lega sementara Eliza serasa tercekat, sungguh hidupnya rumit sekali.

"Sebenarnya sudah dua hari Putri Azura tidak kentut, kau akan dipekerjakan di kediaman Deathsia."

"Dipekerjakan untuk apa?"

"Merebus ubi." Eliza mengumpat dalam hati, apa di kediaman itu tidak ada seorangpun yang bisa merebus ubi hingga harus mempekerjakan orang baru? Eliza kembali fokus pada sekitar walau sebenarnya sudah panas dingin, tidak bisa diam dalam duduk karena perut mulasnya sedari tadi belum menemukan solusi. Benda keras yang biasanya berwarna kuning, coklat atau mungkin hitam itu seolah memaksa
untuk segera diberi kebebasan keluar dari pantat Eliza.

"Kenapa kau tidak bisa diam!?" Mereka bisa mengeraskan suara di sini karena menaiki kereta kuda yang berbeda dengan yang dinaiki oleh putri Azura, jadi jangan heran kalau Eliza masih bisa bernapas dengan sedikit tenang.

"Aku ingin--" Eliza terpejam dengan tangan yang sudah meremas kuat gaun lusuhnya, letupan angin beraroma khas yang memabukkan, membuat pening kepala, kebetulan Eliza tadi pagi juga sarapan ubi. Tidak main-main, memakan sepuluh ubi pagi hari cukup membuatnya kenyang dan tiada hari tanpa kentut.

"Kau buang angin!?"

"T--tuan ini, ini testimoni kentut."

CRAZY WIFE [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang