Selimut tebal masih menenggelamkan dua insan yang masih terlena dalam kehangatan. Hujan rintik-rintik menambah nyaman suasana pagi akhir pekan ini.Kecupan lembut di pundak membuat wanita berambut panjang itu menggeliat, terbangun dari tidur lelapnya.
Matanya yang masih samar mendadak membeliak, kala jam weker di atas nakas menunjukkan pukul 06.30, padahal sebelumnya belum pernah bangun seterlambat ini!
Namun, sebelum bangkit, sesosok tangan menahan pinggang rampingnya, sontak menoleh ke belakang.
"Mau ke mana?" Suara serak khas bangun tidur menyapa paginya.
Helaan napas kasar terhembus dari bibirnya, rupanya wanita yang sekarang menyandang status Nyonya besar keluarga Hartanto itu terkadang masih belum terbiasa hidup berleha-leha. Hari-harinya yang sudah terbiasa bekerja keras tak dapat terlupakan begitu saja di alam bawah sadarnya.
Ibu mertuanya meninggal sebulan lalu. Pergi dalam keadaan sudah berdamai dan saling memaafkan.
"Saat membuka toko, belum pernah bangun kesiangan. Tanpa sadar jadi kaget."
Sang suami mengeratkan pelukannya. "Lupakanlah semua masa-masa kelam itu. Sekarang, kamu adalah ratuku. Aku ga akan pernah membiarkan kamu hidup dalam kesengsaraan lagi." Surya menyelipkan rambut ke samping telinga istrinya. Agar wajah cantiknya yang murni tanpa polesan apa pun dapat dilihatnya lebih jelas lagi. Tak ada kata yang bisa menggambarkan kecantikannya selain dari 'sempurna'.
"Allen belum bangun?"
"Allen kalau libur bangunnya siang, bisa jam 8 atau jam 9." Surya makin dalam menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istrinya. Menghujani dengan kecupan, menyusuri leher, pundak, dan tulang selangkanya.
"Masih ada waktu. Sambil nunggu Allen bangun, hm?" Dengan mudah, Surya menarik simpul tali jubah kimono berbahan satin warna pink pucat yang sangat serasi dengan kulit cerah Iren.
"Apa semalam tidak cukup?"
"Berapa banyak waktu yang pernah kita sisa-siakan? Sebanyak itu pula kamu harus membayarnya." Surya mengangkat sebelah alisnya dengan seringai menggoda.
Namun, deringan ponsel di atas nakas membuyarkan semuanya. Surya berdecak kesal, kemudian bangkit, duduk di tepi ranjang hendak mematikan ponsel istrinya agar tidak ada hal apa pun yang dapat mengganggu waktu berharga mereka.
"Siapa?" tanya Iren penasaran. Semenjak kembali tinggal bersama Surya, hampir tak pernah ada panggilan telepon. Hari-harinya kini murni sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak dan suami.
"Brigita? Siapa Brigita?"
"Ugi. Salah satu dari dua adikku yang tinggal bersamaku di kontrakan."
Surya mengangguk. "Mau diterima?" Niatnya semula yang ingin mematikan ponsel urung dilakukan, memilih bertanya lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
U&I (TAMAT)
FanfictionUgi dan Iwen anak panti asuhan dari Bandung, nekat merantau ke Ibukota untuk mengejar mimpi menjadi penyanyi. Mereka dipertemukan dengan Choky dan Ijong, mahasiswa yang kebetulan memiliki hobi yang sama di bidang musik. Mereka lalu membentuk sebuah...