Bab 14

26 4 0
                                    

Akhtar menghela nafas seraya berjongkok untuk membereskan lembaran kertas yang tak sengaja Ia jatuhkan. Matanya melebar saat sebuah tangan putih meraih kertas-kertas itu juga.

Akhtar pun menoleh mengikuti sambungan tangan itu dan cukup terkejut mendapati ustadzah Rahma di depannya ikut memunguti kertas yang berjatuhan tersebut.

"Eh, maaf Ustadz" ustadzah Rahma pun menarik tangannya seraya berdiri kembali dengan membawa beberapa tumpukan kertas di tangannya.

"Mari saya bantu bawakan Ustadz, sepertinya Ustadz kewalahan" Akhtar tersenyum tipis dan mengangguk saja.
Keduanya pun berjalan beriringan sambil membawa tumpukkan kertas di tangan mereka masing-masing.

Para siswi yang ada di sekitar yang melihat mereka berjalan berdua pun kembali membicarakan kecocokan antara mereka dan tak lupa juga menjodoh-jodohkan mereka.

Kecuali satu siswi yang nampaknya kali ini merasa sesak saat melihat kedekatan mereka. Ia mendudukkan dirinya di pembatas koridor seraya menunduk menyembunyikan rasa sakitnya.

Ia lupa bahwa dua ustadz dan ustadzah nya itu saling mencintai. Bahkan mereka sangat cocok jikapun saling bersanding. Halu apa Ia selama ini sampai-sampai menyimpan perasaan lebih kepada ustadz nya itu.

"Loyo amat pagi-pagi" Denira menoleh ketika mendengar suara laki-laki yang Ia rasa seperti suara Wildan.

Dan ternyata benar saja laki-laki itu kini sudah berdiri di sampingnya sambil senderan pada tiang bangunan.

Denira memperhatikan penampilan Wildan dari atas sampai bawah dengan heran. Pagi ini laki-laki itu terlihat begitu rapih dan tumbenan tidak telat. Biasanya datang sekolah selalu telat, sudah begitu penampilannya acak-acakan entah itu baju keluar atau bahkan tak di kancing, rambut no sisir, no dasi, sepatunya putih.

Namun, sekarang dia nampak berbeda. Baju di kancing dan di masukkan, rambut tersisir rapih, sepatu hitam, dasinya bertengger rapih di dadanya.

"Kenapa liatin gue kaya gitu?" Wildan menggerakkan satu alisnya menatap Denira.

"Begini dong seragamnya anak sekolah, rapih. Kalo ginikan ganteng" puji Denira tanpa sadar mengatakan kata ganteng.

Hal itu membuat Wildan tersenyum merekah. Entah kenapa mendengar pujian GANTENG yang keluar dari mulut Denira membuat dirinya seakan terbang melayang padahal, setiap hari juga banyak perempuan-perempuan yang memujinya ganteng tapi, kenapa saat Denira yang mengatakannya terasa berbeda.

"Ganteng ya?" Seakan sadar Ia telah keceplosan, Denira pun menjadi kikuk dan salting.

"Iya maksudnya bagus gitu kalo lo rapih gini. Lo kan cowok jadi ganteng, yakali cantik" jelasnya berusaha membuat Wildan tak salah paham.

Wildan melipat kedua tangannya seraya tersenyum smirk dan mengangguk-angguk.

"Oh gitu"

"Gue ke kelas dulu udah hampir bel" Denira pun berlalu pergi meninggalkan Wildan menuju kelasnya.

****

Seperti perjanjian semalam, kini ketiga sahabat itu sedang duduk di bawah pohon rindang yang ada di belakang sekolah sambil membicarakan sesuatu hal yang ingin beritahukan Kalina.

"Gue punya sepupu namanya Kak Sila dia alumni dua ribu tujuh belas dan di dalam brosur itu tertulis ajaran dua ribu tujuh belas juga. Kata Kak Sila, emang bener dulunya SMA ini berbasis Boarding School tapi, ada masalah besar yang terjadi hingga akhirnya Boarding School nya di tiadakan"

"Masalah apa Lin?"

"Kak Sila si gak tau pasti tapi, dia denger-denger katanya dulu di gedung pesantrennya pernah ada yang bunuh diri pada tahun dua ribu tujuh belas pas akhir-akhir Kak Sila mau lulus"

Takdir Sang CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang