“Gimana keadaan Mamah Pah?” Denira dan Wildan menghampiri Tirta papah Denira yang kini sedang duduk di kursi penungguan.
“Mamah sedang di tangani ulang oleh dokter. Dokter menyarankan agar Mamah kamu segera di pindahkan di ruang rawat inap” jelas Tirta.
“Rara tadi sudah konfirmasi ke kasir Pah. Jadi, Mamah sudah bisa di pindahkan sekarang”
Tirta menatap Denira dengan kening mengerut. “Uang dari mana kamu membayar kamarnya?”
“Ini Wildan temen Rara yang udah bayarin biayanya” Wildan tersenyum tipis dan mengangguk ke arah Tirta.
“Masyaallah terimakasih ya nak. Saya janji saya akan secepatnya menggantikan uang nak Wildan”
“Tidak usah di pikirkan Pak. Fokus saja dulu dengan kesembuhan istri Bapak”
Denira menatap sekilas ke arah Wildan. Entah kenapa nada bicara Wildan yang sedikit berbeda membuat Denira heran. Tak biasanya Wildan berbicara rendah dan sopan seperti ini. Bahkan kepada gurunya sendiri saja Wildan tak pernah berbicara demikian namun, kenapa berbicara dengan papahnya malah berbeda.
“Kamu tadi habis kemana Ra? Papah panggil kok kamu gak jawab. Papah khawatir loh” Denira menghela nafas dan menunduk merasa bersalah telah gegabah.
“Tadi Rara ke tempat kerjanya Kak Dean. Rara awalnya mau pinjem uang sama Kak Dean tapi, Rara malah ketangkep sama Reza. Untung ada Wildan yang nolongin Rara dan... Wildan juga bantuin kita bayar hutang ke Reza pah”
Tirta menatap ke arah Wildan terkejut. “Saya jadi merasa tidak enak sama Nak Wildan. Maaf ya saya dan Denira telah merepotkan Nak Wildan dua kali”
“Gak papa Pak gak usah di pikirin. Saya tidak merasa direpotkan kok"
"Kamu anak yang baik semoga Allah membalas kebaikan kamu"
"Aamiin insyaallah pak"
****
Dua orang kakak beradik nampak sedang duduk di atas balkon rumah mereka sambil berbincang-bincang santai.
"Kamu ngajar dimana Tar?" tanya Afkar menatap sang adik.
"SMAIT Bani Hakim Kak. Itupun cuma guru pengganti doang. Mungkin, kalo guru aslinya udah selesai lahiran aku bakalan keluar dari posisi ngajar aku"
"Bani Hakim itu Yang berbasis Boarding School itu bukan si?"
Akhtar mengerutkan keningnya bingung mendengar pertanyaan dari Afkar. Perasaan sejak Ia pertama kali mengajar di SMA itu, tidak ada boarding school di dalamnya. Semua siswa-siswinya selalu pulang setelah selesai pelajaran.
"Boarding School Kak?"
"Iya. Seinget Kakak SMAIT itu berbasis Boarding School loh masa kamu yang ngajar disitu gak tau"
"Tapi emang gak ada Boarding Schoolnya Kak. Udah hampir satu bulan lebih aku ngajar disitu tapi gak ada tuh aku liat bangunan pondok pesantren"
"Ah masa sih?" Heran Afkar.
"Apa Kakak aja yang lupa? Soalnya kan Kakak terakhir ngeliat itu sekitar lima tahun yang lalu waktu Kakak masih di Indonesia jadi mungkin perasaan aja kali ya" Akhtar mengangguk-angguk menyetujui asumsi kakaknya.
****
"Astagfirullah hala'dzim" mata Denira melebar saat melihat jam pada layar handphonenya.
Ia pun langsung beranjak dari tempat tidurnya dan buru-buru mandi dengan secepat kilat. Setelah itu dengan cepat pula Ia memakai seragam sekolahnya dan tak lupa hijab putihnya juga. Akibat semalam Ia menjaga mamahnya sampai larut membuatnya jadi telat bangun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Cahaya
SpiritualPerannya bagaikan cahaya. Dia tercipta sebagai manusia biasa yang mempunyai dosa dan rentan dengan kesalahan manusiawi. Dia hanyalah seorang gadis sederhana yang terlahir dari keluarga sederhana juga. Namun, dalam kesederhanaannya dia mampu menghada...