23b

345 20 13
                                    

Masa kehamil ku sekarang, sudah mulai terasa pengap, perut ku semakin membesar. Berjalan pun layaknya kura-kura. Saat ini aku masih di rumah mertua, usai acara kemarin. Terlihat haura masih lelap tidur dipelukan boneka panda milik ku dulu, mengisi kekosongan, aku beralih ke dapur membantu bibi.

"Udah ih neng sana, jangan disini. Biar bibi saja. Aden marah loh..."

Aku cukup senyum, "Bi, buatkan saya rujak. Lagi pengen..." ucap ku sedikit mendayu,

"Boleh, kebetulan dibelakang ada mangga muda, dikulkas pun ada buah-buahan."

"Makasih, bi..." ucap ku, selagi meninggalkannya, sebab haura sudah bersuara.

Rumah ini masih sepi jika weekand, masih tetap bersarang pada tempurungnya. Apalagi erza dan khanza, selalu memadu kasih, jika weekand begini. Jika mertua ku, udah berada dilapangan olahraga. Kalian tanya mas galen? Masih ngorok, dia kerja malam tanpa henti.

Beginilah haura, sikapnya suka tidak bisa ditebak. Manjanya keluar, aku menggendongnya ke kamar mandi. Berakhir di ruang tamu, untuk makan. Cuman nuget goreng, sosis dan kecap manis. Padahal bibi masak enak, entahlah...

"Sayang, duduk disamping mamah ya, jangan dipangkuan mamah. Nanti suapinnya susah."

"Ara pusing, mamah."

"Bersandarnya ke sofa, lebih nyaman."

Ara tidak mendengar ucapan ku. Dimana aku harus menahan rasa pengap.

"Ra, duduknya munduran. Mamah susah suapinnya." Alasan ku,

"Kepala ara pusing, mah..."

"Ara mau emang, mamah salah masukin buburnya, jadi ke telinga ara, hemm?"

"Ara yang arahkan."

Ingin aku berkata kasar, apalagi sama bapaknya.

Tadi malam, kami bertengkar, gara-gara cuti ku. Aku masih ingin berkerja, tapi mas galen sudah membuatkan surat cuti tanpa izin ku. Dia menyuruh ku untuk ttd, dengan perintah tidak ada penolakan apalagi kertas tersebut dilepar di depan tubuh ku. Aku tidak terima, dengan berat hati mendatanganinya, setelahnya diam seribu bahasa sampai pagi ini. Tidur pun membelakanginya,

"Ayah mana?"

"Masih tidur,"

"Kakek?"

"Olahraga, sama nenek juga."

"Tante,"

"Masih tidur,"

"Ra, duduk di sofa ih, mamah sempit."

"Gak mau,"

"Adiknya kasihan..."

"Terus aja, adik dan adik. Ara gak boleh peluk mamah? Mamah udah gak sayang ya sama ara?"

Aku kalah, ya sudah mengikuti perintah sang putri. Dia nemplok,

"Mah, adik kapan lahir? Kan perut mamah sudah sangat besar?"

"Nanti,"

"Mah, kenapa kita tinggal disini, seperti tante aza? Enak tahu, bisa becanda sama kakek dan nenek terus..."

"Ayah sudah punya rumah, jadi ya harus ditempati. Bukannya ara gak betah lama-lama, tinggal disini?"

"Iya, tapi ara suka masih kangen kakek...terus suka lama lagi ketemunya lagi,"

Aku diam,

"Terus ayah pun, kalau ara ajak main kesini, selalu sibuk. Seperti gak boleh,"

"Padahal kakek selalu cerita, kalau ara sudah masuk sekolah, mau dibuatkan kamar. Biar bisa tinggal disini, terus berangkat sekolah bareng kakek. Seru tahu mamah..."

Special My DREAM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang