4. Wanita Lain Untuk Ayah

16.5K 1.2K 54
                                    


Nalya pikir, setelah beberapa saat berlalu kecanggungan ini tidak lagi terjadi tapi kejadian itu terulang kembali dan Aran malah menjawabnya dengan tenang sambil mengatakan bahwa dia hanya calon mahasiswa yang kebetulan tinggal di kompleks rumah yang sama dengan Nalya. Dan inilah yang terjadi kemudian, mereka berdua saling diam di dalam mobil dan sialnya terjebak lampu merah.

"Aran tidak perlu mengakui ku sebagai ibunya, aku tidak masalah." Nalya larut dalam pikirannya sedangkan Aran diam memasang wajah tak bersalah sambil melihat kedepan.

"Kenapa nggak jalan?" Aran berseru tatkala lampu jalan sudah berubah hijau tapi Nalya belum memajukan mobilnya.

"Budek apa gimana?!!"

"Oh, maaf." Tersadar akan suara Aran, Nalya memajukan mobilnya dengan tergesa-gesa karena suara kelakson mobil di belakang juga cukup berisik.

Mereka mampir ke supermarket terlebih dulu untuk membeli bahan masakan malam ini, Aran dengan inisiatifnya sendiri mengambil alih troli belanja dan mengikuti Nalya dari belakang.

"Ada sesuatu yang ingin kamu makan? Atau makan khas Palembang mungkin?"

Nalya sedikit menoleh pada Aran di belakamg sambil terus berjalan ke depan, Aran hanya diam berpikir makanan khas Palembang apa yang perlu dia coba lebih dulu apa lagi dia tak tahu satu pun makanan khas Palembang.

"Kenapa?"

"Belum tahu."

"Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan?"

"..."

Tidak ada jawaban apapun dari Aran, Nalya juga hanya bisa tersenyum kecut memikirkan perkataannya barusan. Mana mungkin Aran mau pergi berdua bersamanya, Aran kan hanya menganggapnya orang asing.

***

Pukul 21: 10


Setelah makan malam usai, Aran kembali ke kamarnya dan saat ini sedang mengobrol dengan Ania melaui panggilan Video, sudah 10 menit adiknya itu terus bicara tanpa henti membuat Aran lagi-lagi harus menjadi pendengar dari kisah Ania hari ini.

"Abang tahu nggak? Dua temen abang itu selalu aja recokin hari tenang Ania, tidak di sekolah, tidak di lingkungan kampus. Mereka berdua itu mengganggu."

"Oh," dua huruf itu saja yang mampu Aran keluarkan sebagai respon. Merasa aneh dengan tanggapan Aran, Ania mengerutkan dahi. Ekspresi wajah kakaknya sejak awal panggilan di mulai tetap sama, tidak bersemangat sama sekali.

"Abang kenapa, sakit?"

"Nggak, cuman anu..."

"Apa? Abang kan udah janji nggak akan sembunyikan apapun dari Ania."

Aran mengambil nafas beberapa kali dan menghembuskannya dengan gusar, keduanya saling bertatapan melalui layar telpon.

"Sepertinya, buna punya keluarga lain di sini."

"Apa? Ania nggak denger."

"Budek!"

"Abang ngatain Ania budek?"

"Udah ah nggak jadi, males."

Melihat ekspresi wajah kesal Aran membuat Ania tertawa lucu, Ania pikir kakaknya akan berubah dingin layaknya es batu, tapi ternyata sama saja seperti yang dia kenal sebelumnya.

"Oke maaf, apa tadi abang bilang?"

"Kamu tahu makanan khas Palembang nggak?"

Aran memilih mengalihkan pembicaraan, menurutnya ada baiknya untuk tidak membicarakan hal ini pada Ania atau ayahnya. Mengingat belum ada kejelasan mengenai apa sebenarnya hubunganan antara ibunya dan laki-laki itu.

Pak Hakim - S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang