7. Emergency

14.7K 1.2K 78
                                    

Beberapa hari berlalu dengan kecanggungan yang semakin menjadi, sejak panggilan video itu, Aran merasa ada yang berbeda dengan Nalya. Ibu yang biasanya tersenyum lebar di pagi hari sambil menyapanya itu belakangan ini hanya tersenyum tipis dan bicara seadanya.

Apa lagi, terkadang Aran tidak sengaja mendapati Nalya melamun tanpa kenal tempat. Entah itu di dapur dengan keadaan sedang memasak, depan pintu kamar mandi atau bahkan di meja makan.

Aran jadi pusing, apa yang harus dia lakukan untuk mengakhiri situasi tidak nyaman ini?

"Ah, bosen banget!!" Aran berucap sambil melihat ke arah lain, Nalya yang berada tepat di sebelahnya mengerjabkan mata beberapa kali dan tersadar.

"Mau keluar jalan-jalan?" Ajak Nalya akhirnya.

"Sama siapa? Coba di sini ada Ania, mungkin bisa pergi sama dia."

Jika boleh jujur, Nalya hanya ingin berdiam diri di rumah. Diamnya Nalya beberapa hari ini itu karena ada banyak hal yang dia pikirkan. 4 hari lalu dia mendapatkan telpon dari Saqif kalau Ibrar (papanya) dilarikan ke rumah sakit.

Nalya juga berharap dalam hati kalau Aran tidak akan memancing emosinya kali ini, Nalya sedang sensitif karena datang bulan soalnya.

"Harusnya emang nggak ke sini, di Kolaka lebih baik karena ada Ania dan ayah." Tapi kenyataannya Aran malah mengucapkan kalimat yang salah kali ini.

"Kalau begitu, kamu pulang aja." Nalya juga menanggapinya dengan santai, harusnya Aran mencatat ini baik-baik. Nalya bukan orang yang punya kesabaran yang besar.

"Ha?" Aran spontan berucap, perkataan Nalya terdengar samar jadi Aran tidak begitu paham akan apa yang tadi wanita itu katakan.

"Kalau kamu merasa nggak nyaman di sini, kamu bisa pulang ke Kolaka. Saya nggak maksa kamu untuk tinggal di sini, jadi kalau kamu mau pergi, silahkan."

Raut wajah dan tatapan mata Nalya terlihat tidak ramah, sudah dibilang dia sensitif tapi Aran malah semakin memanasinya dengan kata-kata yang selalu berhasil menyinggung perasaan Nalya dan alhasil, ucapan yang seharusnya tidak boleh keluar itu malah terucap dengan mulus.

"Kamu selalu bicara seolah-olah saya orang yang begitu dingin dan tidak punya hati, jadi kalau kamu memang berpikir saya orang yang seperti itu kamu benar."

"Saya orang yang begitu tega, saya bisa merawat anak orang lain dan meninggalkan anak saya sendiri. Saya orang yang seperti itu, lalu apa lagi? Perempuan yang tidak punya malu?"

Mata Nalya memerah, dia berdiri dari tempat duduknya dengan nafas memburuh. Nalya seakan kehilangan akal sehatnya, dia seharusnya menemui Zara hari ini seperti biasa tapi entah kenapa tiba-tiba situasi buruk ini malah terjadi.

Aran yang masih duduk mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, ucapan Nalya itu sangat Aran ingat. Kata-kata itu pernah Aran ucapkan pada ibunya tapi Aran tidak menyangka ternyata Nalya malah mengungkit itu semua sekarang.

"Kalau kamu tahu itu sejak awal, kenapa kamu malah memilih datang ke sini. Kenapa?"

"Apa dari awal, lo emang enggak suka gue di sini?" Aran membalas ucapan Nalya, perasaannya campur aduk. Dia tidak menyangka ibunya yang biasanya diam tak membalas segala ucapan pedas Aran kini bicara dengan tegas mengeluarkan segala kekesalannya pada Aran.

"Lo mau gue pergi dari sini 'kan? Oke, gue pergi sekarang. Dan gue harap, gue nggak lagi liat lo setelah ini!"

Pembicaraan panas itu berakhir begitu saja ketika Nalya tidak membalas dan membiarkan Aran masuk ke kamarnya. Aran langsung mengambil koper dan memasukkan pakaiannya dengan asal ke dalam koper, sambil memegang hp dan mencari kontak ayahnya untuk di hubungi.

Pak Hakim - S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang