10. Dasar Pak Tua Modus!

16.1K 1.3K 38
                                    

Afka dan Aran sedang makan siang di rumah Fia. Sebenarnya Afka tidak punya waktu untuk datang ke sini, tapi karena ada beberapa barang yang sudah Fia sediakan untuk Nalya, maka dari itu Afka dan Aran di minta datang untuk mengambilnya secara langsung.

"Lama nggak ketemu, bagaimana kabar om sama tante?" Tanya Ikram, pada Afka yang duduk di sebelah kirinya.

Mereka menikmati makan siang di rumah bersama, ada Aran dan juga Fia yang bersama mereka.

"Alhamdulillah baik."

"Jadi kamu dateng ke sini buat jemput Aran?"

"Awalnya, tapi kata Nalya dia juga akan ikut pulang dengan kami."

"Kapan?" Fia ikut bicara setelah mendengar jawaban Afka tentang Nalya yang juga akan ikut pulang bersama mereka.

"Paling lambat minggu depan."

"Nalya mau mengajukan pindah homebase?" Tanya Ikram.

"Rencananya begitu."

"Paling juga ujung-ujungnya tulis surat pengunduran diri, Nalya bukan orang yang punya kesabaran tinggi untuk hal yang merepotkan kaya gitu." Ucapan Fia membuat Afka Dan Ikram tertawa kecil, Aran yang mendengarkan hanya bisa tersenyum.

Setelah makan Afka dan Aran kini pamit untuk kembali ke rumah sakit, mereka berdua sudah berada di dalam taksi tapi masih di depan rumah Fia.

"Tante akan datang bawain makan malam nanti, jadi nggak usah pesen makan lagi, di belakang juga ada makan siang buat bunda sama keperluan dia selama di rumah sakit," Fia bicara panjang lebar pada Aran. Anak itu mengangguk dan kemudian pamit pada Fia.

"Jangan lupa bawa Elina yah tante, kami pergi dulu."

"Iya, hati-hati di jalan."

***


Aran cukup diam setelah meninggalkan kediaman Fia, entah apa yang anak itu pikirkan sampai membuat sang ayah yang duduk di sebelah ikut menebak-nebak isi kepala anak itu.

"Ayah?"

"Hm?" Afka menoleh pada Aran yang juga kini menatapnya.

"Kemarin itu, Aran sempet ngomong ke buna kalau Aran... Aran berharap... Aran nggak akan liat muka buna lagi."

Aran bicara dengan terbata, sesak juga rasanya harus membicarakan ini kembali. Tapi menurut Aran, ayahnya  harus tahu kenapa sang ibu bisa berakhir di rumah sakit seperti itu.

"Jadi benar, Aran sudah sangat keterlaluan."

"Gara-gara ucapan itu, buna sampai berpikir untuk bunuh diri."

"Ayah sudah menasehati kamu beberapa kali untuk menjaga sikap dan lisan kamu 'kan? Ayah juga sudah bilang untuk lebih baik diam ketika marah. Tidak ada salahnya mengekspresikan diri, tapi tidak dengan menyakiti diri sendiri atau orang lain."

"Aran benar-benar minta maaf," Aran menundukkan kepalanya karena merasa bersalah sudah mengabaikan nasehat Afka, dia tidak menyangka kemaran ayahnya kali ini sedikit menakutkan.

Afka mengambil nafas dan menghembuskannya beberapa kali untuk meredakan amarahnya, setelah merasa tenang Afka kembali bicara.

"Sudah tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja sekarang. Ayah hanya berharap kamu tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama untuk kedepannya."

Afka menepuk bahu kanan Aran beberapa kali untuk memberi semangat pada putranya, Afka sebenarnya ingin memberi pelukan pada Aran tapi mengingat anak itu selalu protes jika di perlakukan seperti Ania (seperti anak perempuan), maka Afka mengurungkan niatnya.

Sesampainya di rumah sakit, terdengar percakapan ramai dari luar kamar rawat Nalya. Aran menatap Afka seolah bertanya siapa yang ada di dalam, tapi Afka malah mengedikkan bahu sebagai jawaban bahwa dia juga tidak tahu. Afka dengan penasaran membuka pintu dan masuk ke dalam kamar rawat.

"Assalamualaikum..."

"WAALAIKUMSALAM!!!" Secara serempak mereka menyahuti, semua mata di sana tertuju pada Afka serta Aran.

Kabar masuknya Nalya ke rumah sakit tersebar cepat di fakultas tempatnya mengajar. Akibatnya, beberapa teman dosen datang berkunjung di saat Aran dan Afka sedang keluar dan saat tiba di sini sudah ada beberapa orang mengelilingi Nalya.

"Ini makanan dari tante Fia," Aran meletakkan makanan di atas lemari nakas samping bed Nalya.

"Terimakasih, kamu udah makan?"

"Udah, bareng sama ayah di rumah tante Fia."

Teman-teman dosennya menatap Nalya dengan tatapan bertanya, ingin sekali mereka bicara namun mereka juga merasa canggung. Ibu Windia yang juga adalah salah satu dosen yang datang berkunjung malah menatap Nalya dengan sesekali menggerakkan matanya ke Aran sebagai isyarat bahwa dia ingin diperkenalkan.

"Ini anak saya, namanya Aran." Aran menunduk sekilas menyapa mereka dengan sopan, setelah Nalya memperkenalkan Aran kini semua tatapan beralih pada Afka.

Afka yang ditatap sekarang merasa tidak nyaman, dia ingin memperkenalkan diri tapi harus dengan status apa? Mantan suami? Keluarga? Atau teman?

"Kalau beliau, namanya Hakim..."

"Suaminya bu Adrina yah? Halo, saya Dedi. Ini istri saya, Windia." Pria paruh baya dengan kacamata minusnya yang tak pernah lepas itu menyela ucapan Nalya, Afka yang disangka masih berstatus suami itu hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung di hadapan mereka.

"Karena suaminya sudah datang, kami pamit pulang dulu. Cepat sembuh yah bu, kami duluan." Pamit salah seorang perempuan muda pada Nalya.

"Terimakasih, hati-hati di jalan bapak ibu."

"Mari, pak Hakim..." panggil bu Windia.

"Iya," Afka benar-benar tidak tahu harus membalas ucapan itu dengan kata apa. Baru kali ini Afka mati kutu di hadapan orang lain, terlebih itu adalah rekan-rekan Nalya di kampus.

"Mari pak Hakim..." Aran yang sejak tadi diam kini memperagakan bagaimana ibu Windia berpamitan pada sang Ayah, wajah Aran juga terlihat julid.

"Aran!?" Digretak seperti itu oleh Afka tidak akan membuat Aran menciut, dia bahkan akan lebih meledek Afka sampai puas.

"Meri pek hekim..." Aran terlihat asik meledeki sang ayah, padahal baru tadi rasanya anak itu merasa takut pada Afka tapi kali ini...

"Oh begitu, tunggu kamu yah, Ayah balas kamu di kampus nanti."

Afka menyeringai memandang Aran yang malah menggerakkan bibirnya seperti mengikuti ucapan Afka namun bibirnya dibuat maju.

Nalya tertawa kecil melihat perdebatan keduanya, sambil berusaha turun dari bed dengan Aran yang sedang memegangi lengannya.

"Biar Aran bantu ke kamar mandi."

"Nggak usah, buna bisa sendiri."

"Nanti kalau jatuh lagi gimana?!" Aran tiba-tiba menaikkan nada suaranya membuat Nalya terheran.

"Sini biar di gendong aja sekalian," Afka dengan sigab mengambil posisi, meletakkan 1 lengannya di bawah lutut dan yang 1 lagi di punggung Nalya untuk mengangkatnya.

"Eh nggak usah!!!" Nalya berusaha untuk turun tapi Afka malah memperbaiki posisi Nalya dalam gendongannya agar lebih nyaman.

"Pegangan kalau nggak mau jatuh," peringat Afka.

"Peluk ayah bun, biar nggak jatuh!!"

Aran berteriak membuat wajah Nalya memerah, anak itu benar-benar ahli dalam menggoda orang tuanya.

"AYAH JANGAN IKUT MASUK KE KAMAR MANDI!!!"

"DIAM KAMU ARAN, INI RUMAH SAKIT!!!"

Aran tidak bisa menahan tawanya, menggoda sang Ayah sepertinya akan menjadi hobi barunya nanti. Lihat bagaimana wajah Afka, telinga sang ayah bahkan memerah gara-gara malu diledeki.

"Dasar pak tua modus!"

"Ayah denger kamu ngomong apa."

"Oh, sorry!!" Aran menyengir tanpa rasa bersalah pada Afka, benar-benar anak kurang ajar Aran ini.

Pak Hakim - S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang