6. Perasaan Seorang Perempuan Itu Rumit

15.1K 1.2K 30
                                    

Fia, Elina dan Ikram sudah pergi tanpa Nalya dan Aran. Mereka menaiki mobil secara terpisah setelah keluar dari restoran.

Nalya sedang menyetir sedangkan Aran duduk di sebelahnya dengan sesekali melirik ke arahnya. Sadar akan sikap Aran, Nalya kemudian membuka suara lebih dulu untuk memecah keheningan.

"Soal om Ikram, maaf karena saya nggak ngomong dari awal." Mungkin ini sudah terlambat untuk di jelaskan, tapi itu lebih baik dari pada tidak sama sekali.

"Waktu saya mau jemput kamu di bandara, kebetulan om Ikram telpon katanya mobilnya tiba-tiba mogok jadi saya jemput mereka dulu dan bareng mereka hari itu ke bandara. Juga soal Elina, apa mungkin awalnya kamu berpikir kalau Elina anak saya?"

"..." Tidak ada jawaban dari Aran.

"Saya dan Elina memang dekat, dia sering dititipkan ke saya kalau-kalau Fia dan Ikram sibuk."

"Kenapa nggak titip di tempat lain?"

Nalya sedikit tersentak mendengar pertanyaan Aran barusan, kata-kata anak itu tersirat kecemburuan. Jadi, apa Aran benar-benar cemburu akan kedekatan Nalya dengan Elina?

"Kerabat dekat tante Fia di sini hanya saya, apa lagi Elina itu anak yang manis,'kan? Semanis Ania saat kecil, mungkin pun sekarang Ania pasti lebih manis dan cantik." Nalya tersenyum lebar membayangkan wajah Ania kecil, anak itu sangat manis dan imut.

Nalya jadi semakin rindu...

"Kenapa nggak ngomong dari awal?" Nada bicara Aran berubah ketus, Nalya jadi sedikit berhati-hati untuk bicara mengingat mulut Aran bisa saja mengeluarkan kata-kata pedas seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu.

"Saya kira, kamu nggak akan perduli soal itu... Maaf."

"Nggak keberatan jagain anak orang lain, tapi malah ninggalin anak sendiri. Luar biasa!"

Lihatkan? Ungkapan-ungkapan yang seperti inilah yang selalu berhasil membuat Nalya tak berkutik, Aran ini benar-benar mirip Afka.

Harusnya, jika ingin lebih dekat dengan Nalya, Aran bisa menahan diri untuk tidak berbicara pedas. Karena, dengan ucapan yang seperti ini Aran sama saja mengibarkan bendera perang pada sang ibu.

"Maaf," Nalya berujar dengan penuh sesal.

Merasa suasananya berubah tidak mengenakkan, Aran kemudian kembali bicara mengenai keinginan Ania untuk mengobrol dengan Nalya.

"Kalau ada waktu, Ania mau ngobrol. Setidaknya sekali ini aja."

"Oh tentu, nanti malam bisa." Nalya tersenyum lebar di akhir kalimatnya, membuat Aran memalingkan wajah ke arah lain dan tak mau melihat senyuman terluka yang begitu jelas dari wajah wanita di sebelahnya.

***

Nalya dan Aran baru saja tiba di rumah setelah magrib, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan sekaligus membeli beberapa perlengkapan yang terlupa untuk Aran, walaupun tanpa obrolan yang panjang mereka menikmati waktu berdua dengan nyaman.

"Kamu bisa masuk duluan. Ini kunci rumahnya, saya akan bawa belanjaannya."

Nalya menyerahkan kunci rumah pada Aran, kemudian dirinya beralih ke belakang mobil membuka bagasi dan mengambil barang belanjaan mereka. Tidak banyak yang mereka beli, hanya 2 kantong besar yang hampir penuh dan membuat Nalya berhasil kerepotan membawanya.

"Sini," Aran kembali setelah membuka pintu rumah, dia ingin meraih kedua kantong plastik itu namun Nalya menggeleng dan berjalan lebih dulu meninggalkan Aran dengan pintu bagasi mobil yang masih terbuka.

Pak Hakim - S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang