"Apa kalian tidak punya Walk-in closet*?"
Caine bertanya, menatap kamar mandi sempit yang hanya terdiri dari kloset berdempet dengan dinding serta baskom kecil penuh air.
Felix menyadari pertanyaan dari Caine tersenyum maklum dan menggeleng. Menghentikan aktivitasnya sejenak dari melipat pakaian kering untuk menjawab pemuda itu. "Sayangnya tidak. Maaf ya."
Caine terdiam sejenak. Banyak sekali pertanyaan muncul di otak, tetapi Ia tidak ingin menyinggung lebih banyak Felix lebih dari ini.
"Tidak apa. Aku hanya bertanya. Dan maaf kalau pertanyaan ku menyinggung." Caine menggaruk leher belakang, melirik Felix yang kini sudah melanjutkan aktivitasnya.
"Hahahaha, jangan dipikirkan. Bertanyalah sepuasnya." Felix terkekeh pelan. "Saat mandi jangan lupa untuk putar keran ke arah kanan untuk menyalakan air. Sabun, shampoo, ada disisi kanan. Kamu bisa ambil sikat gigi yang masih terbungkus untuk kamu pakai nanti."
Caine mengangguk pelan. Mengingat secara perlahan bagaimana penjelasan Felix mengalir seperti air. Bagaimana Felix memberitahunya seperti mengetahui kalau Caine akan cukup lama terdiam didalam kamar mandi untuk memproses seluruhnya terlebih dahulu.
Kamar mandi ini mungkin memiliki ukuran 5x lebih kecil dibandingkan milik Caine yang sudah berada di dalam kamar. Posisi berada di sebelah kasur membuat Caine harus menggunakan handuk terlebih dahulu, berjalan menuju dapur, lalu ke kamar milik Felix untuk berganti pakaian.
Ketika Caine masuk, Ia tidak bisa menggerakkan badannya leluasa. Saat menyiramkan air ke tubuh menggunakan gayung pun, siku Caine beberapa kali terbentur dinding karena minimnya ruangan.
Caine ingin mengeluh. Ditambah melihat sedikitnya sesuatu berwarna hijau tumbuh di pinggir dalam kamar mandi. Itu membuat merinding.
"Caine. Kalau sudah selesai mandi langsung ke kamar saja ya? Baju kamu aku letakkan di atas kasur."
Suara Felix menyadarkan keterdiaman Caine. Tidak berlama-lama, Caine menyabuni tubuh dan berkeramas. Kemudian menyiram, tidak lupa menyalakan keran seperti saran Felix sebelumnya.
Mandi sudah selesai, tinggal mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian.
Seperti yang sudah dijelaskan. Saat Caine keluar, omega yang lebih muda menemukan sosok Felix sedang berkutat pada sesuatu di dapur. Suara denting spatula dan panci beradu. Begitu dengan siulan pelan yang entah kenapa begitu familiar di pendengaran.
Tidak ingin semakin dingin, Caine berjalan menuju kamar Felix. Tidak perlu bagi Caine untuk bersusah payah membuka pintu. Hanya sekat dinding yang membatasi kamar dengan dapur, jadi Caine masuk begitu saja dan menemukan sebuah kamar kecil dengan tempat tidur tanpa rangka dan lemari kayu terpasang pada sisi kiri.
Kamar ini juga lebih kecil dibandingkan kamar Caine. Tetapi entah kenapa auranya menenangkan baginya.
"Kakak cantik sudah selesai mandi?"
Caine menoleh. Melihat Allen dengan tangan memeluk boneka Brontosaurus pemberiannya dan mengusap salah satu mata mengantuk, setengah terbangun menyadari Caine berada di sekitar.
"Maaf. Apa kakak membangunkan mu?"
Allen menggeleng. Pelukan pada Mumu dilepaskan lalu merangkak untuk mendekat. Allen berhenti ketika dekat dengan tumpukan baju di pinggir kasur.
"Ini. Kakak cantik bisa pakai yang mana saja. Semuanya punya papa." Ucap Allen sedikit melantur. Sepertinya sangat mengantuk sampai-sampai kembali merebahkan diri lalu tertidur dalam posisi yang sangat elit. Tengkurap dengan tangan menggantung pada pinggiran kasur dan kaki terbuka membentuk huruf V.
![](https://img.wattpad.com/cover/337845796-288-k554777.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
How My Papa And I Found Our Family
JugendliteraturAllen Sahnon, anak berusia delapan tahun yang tinggal di komplek kumuh pinggir kota. Tinggal hanya bersama dengan sang papa membuat Allen harus mandiri di usia dimana anak-anak lainnya bermanja. Meski begitu, Allen tidak pernah kekurangan kasih say...