Allen memperhatikan sekitarnya dalam diam. Air mata sudah berhenti mengalir, menyisakan isakkan pelan selagi dirinya menyandarkan diri dalam pelukan Dion. Allen mendapatkan sang papa dan kak Brent yang tertidur pada posisi tetap, dimana Felix meletakkan kepala pada pundak Dion dan Brent yang menelungkupkan muka pada pangkuan Felix. Keduanya terlihat begitu tenang, seolah panjangnya cerita yang dilontarkan oleh Dion seperti pengantar tidur bagi keduanya.
Suasana begitu tenang. Allen dapat mendengar detak jantung Dion yang stabil dalam jarak ini. Begitu dengan hembusan napas pelan sang papa yang menyenangkan untuk di dengar.
Allen mendongakkan kepala. Memberikan kesadaran pada Dion yang langsung menunduk saat merasakan gerakan di pelukannya. Allen sudah menopang dagu di dada, menatap Dion dengan mata berbinar meski ujung kelopak matanya memerah akibat menangis.
"Tidak tidur?" Tanya Dion, mengalihkan sepenuhnya perhatian pada Allen saat yang termuda menggerakkan badan agar dapat mengalungkan kedua tangan di lehernya. Gerakan membuat Dion dengan sigap meraih pinggang kecil Allen, di pegangnya agar tidak terjatuh dalam peroses memeluk Dion lebih erat.
Dion berusaha untuk tetap tenang saat Allen secara tiba-tiba mencium pipinya kilat dan akhirnya berbicara. Bukan menjawab pertanyaan, malah melontarkan kata-kata yang membuat Dion membeku.
"Ayah jangan nangis. Allen sama papa di sini untuk ayah." Gumam Allen. Menyamankan diri pada pelukan kemudian meletakkan kepala pada pundak kiri Dion. Dimana dari posisi ini Allen dapat melihat papa nya dan Brent yang tertidur nyenyak.
"Kenapa kamu bisa beranggapan kalau Saya menangis?"
Suara semakin dalam, tetapi tidak lebih keras dari bisikan karena tidak ingin membangunkan dua sosok yang sednag tertidur. Allen bahkan dapat merasakan getaran ketia Dion berbicara. Dan itu membuat Allen menyukainya.
"Papa saja yang nggak ingat nangis setiap malam. Apalagi Ayah yang ingat semuanya." Jawab Allen. Meski masih terisak, Allen berusaha untuk terdengar normal. Ia berdeham, kemudian menduselkan wajah pada ceruk leher Dion. "Al nggak mau lihat nenangin Ayah nangis. Jadi Ayah jangan nangis."
Dion mengerutkan kening lucu. Tertawa rendah lalu mengulurkan tangan untuk memeluk tubuh Allen erat, sehingga membuat yang di peluk mengerang tidak suka.
"Ugh Ayah!"
"Ssst, jangan berisik. Nanti mereka bangun."
"Tapi Al sesak, yah!"
Obrolan berjalan baik sampai matahari terbit. Tidak ada yang salah dengan itu selain dua pasang mata yang menatap dari kejauhan. Mendengarkan keseluruhan cerita yang dilontarkan oleh Dion dengan perasaan yang bercampur aduk.
---
"Brent, ini kue nya. Aku sudah siapkan untuk kamu bawa ke sekolah."
Felix menyerahkan tempat makan yang sudah di bungkus rapi pada Brent yang masih sibuk memakan sarapannya. Mie belum tergigit baik menggantung di bibirnya. Menoleh ke arah Felix yang tersenyum seperti biasanya.
"Brent, kunyah makanannya dulu." Tegur Dion. Brent sadar dan langsung mengigit mie nya. Mengunyahkan perlahan lalu menelan setelah menjadi potongan-potongan kecil di dalam mulutnya.
Brent meraih tempat makan yang diberikan. Membuka untuk melihat isinya yang merupakan beberapa kue seperti kemarin, tetapi memiliki bentuk yang lebih normal dibandingkan kemarin. "Wah- kapan mama masaknya?" Tanya Brent.
"Tadi subuh." Jawab Felix yang kini sibuk memberikan sepotong kue di atas piring milik Allen yang duduk di sebelah Brent.
"Ha? Kok Aku nggak tahu?"
![](https://img.wattpad.com/cover/337845796-288-k554777.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
How My Papa And I Found Our Family
Teen FictionAllen Sahnon, anak berusia delapan tahun yang tinggal di komplek kumuh pinggir kota. Tinggal hanya bersama dengan sang papa membuat Allen harus mandiri di usia dimana anak-anak lainnya bermanja. Meski begitu, Allen tidak pernah kekurangan kasih say...