***
Sore ini, langit biru tidak menampakkan wujudnya, tertutup awan kelabu yang menurunkan rintik hujan membasahi seluruh kota. Suara gemericik air yang berisik, terdengar jelas apabila mereka duduk di depan teras. Namun, saat memasuki sebuah ruangan bernuansa hijau telur asin yang menyimpan sosok lemah nan tak berdaya Zeandra, kebisingan itu lenyap seketika.
"Kok bisa, sih?" lirih Amanda tak habis pikir, setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya.
"Hal wajar, sih," sahut Aldiano seraya mengelus-elus punggung sang Adik. "Faktor kandungan lemah, pikiran, juga masa kehamilan pertama di umur segini."
Mendengar penjelasan Aldiano, mereka hanya dapat terdiam tanpa ingin merespon apa-apa.
Duduk di kursi tunggu koridor panjang rumah sakit, mereka sama-sama muak dengan aroma cemara akhir-akhir ini. Mulai dari Zeandra masuk rumah sakit, kemudian Alex, lalu Zeandra lagi. Rasanya, aroma cemara sudah melekat di hidung-hidung mereka.
"Lo kapan datengnya, Bang?" terka Candra seakan baru menyadari sosok Aldiano yang sudah sedari tadi bersama mereka.
"Kamis, malam jumat," jawab Aldiano mengingat-ingat. "Dari mana aja, lo ... Baru muncul?"
Terkekeh lirih, Candra sedikit sungkan untuk menjawab.
"Di rumah aja, Bang. Nyembuhin diri."
Mendengar itu, Amanda dan Rifky secara refleks melirik ke arah Candra yang tentunya membalas lirikan mereka.
"Lo masih ikut organisasi bokap gua?"
Pertanyaan bodoh yang sukses membuat ketiganya melotot sadis.
"Gua niat keluar sih, Bang," jawab Candra apa adanya. "Tapi belum ada kerjaan lain yang ngimbangin gaji."
"Ahahah...! Kalo lo jadi artis, kemungkinan gaji lo bakal seimbang, sih," kekah Aldiano bergurau ria.
"Lo sendiri, kenapa nggak mau ngikutin jejak bokap lo aja, Bang?" terka Candra bertanya serius.
"Lo jelas tau alasannya, Ndra," singkat Aldiano tersenyum lirih.
"Dia udah ada yang punya, Bang," balas Candra melirik pintu unit ruangan Zeandra.
"Ky," panggil Amanda seraya beranjak dari tempatnya. "Makan yuk, laper."
Menggandeng tangan Rifky tanpa banyak bicara, Amanda lekas berlalu meninggalkan kedua manusia random yang menatap mereka tanpa ekspresi.
"Lo berdua berantem?" tanya Aldiano seraya duduk di tempat Amanda sebelumnya.
"Taulah, Bang." Candra menghela nafas gusar, bersandar lemah di kursi tunggu. "Dia butuh terapi lagi kayaknya."
Mendengar perkataan Candra, Aldiano hanya mengangguk-angguk paham. Namun, ada sedikit keraguan yang tersirat di wajah keduanya. Seakan bimbang dalam mengambil keputusan, untuk melakukan hal yang menurut mereka baik atau buruk.
***
"Hujannya belum reda," ujar Rifky yang tengah duduk di salah satu kursi cafe shop rumah sakit.
Menatap nanar jendela besar di samping mereka, Amanda kehilangan kendali otaknya lantaran terlalu larut dalam lamunan.
"Makanan kamu udah dingin, loh," bujuk Rifky mengingatkan, lantaran Amanda hanya mengaduk-aduk mie goreng yang ia pesan sedari tadi.
"Sayang?" lirih Rifky memanggil, seraya memegang tangan Amanda untuk menyadarkan.
"Hum?" balas Amanda cukup terkejut, sadar akan apa yang ia lakukan. "Maaf, aku...—"
KAMU SEDANG MEMBACA
PAPPER MINT
Roman pour AdolescentsMengisahkan tentang seorang Gadis lima belas tahun, Amanda Nadhira yang mana di malam ulang tahun keenam belasnya harus terjebak dengan permainan Kakak kelas dan Sahabat baiknya, Candra Adrian. Mereka membuat sebuah pertaruhan, di mana Amanda dijadi...