Cemburu

30 5 1
                                    

Tak sadar mata ini menutup membuatku lelap, mungkin karena kelelahan akibat cuaca yang begitu menyengat.

Oh, iya. Aku lupa untuk menelpon Aulia. Kuambil ponsel yang ada di saku jaket yang tadi aku pakai lalu mulai mencari namanya di antara deretan panggilan yang sering aku hubungi belakangan ini.

Drengggg....

Telepon mati dengan sia-sia. Aku pun mencoba untuk menghubungi yang kedua kalinya.

Nihil, hasilnya sama. Aulia tak seperti ini biasanya, jika ada telepon dariku pasti langsung saja dijawab olehnya pun jika dia sedang sibuk maka tak segan dia langsung memberitahuku lewat pesan.

"Ini yang terakhir, mungkin Aulia sedang tidak memegangi ponselnya."

Yang ketiga kalinya.

(Assalamu'alaikum, Abim. Ada apa? Ini Aulia lagi di luar)

Terdengar kebisingan kota yang hampir menelan suara Aulia.

(Tunggu sebentar!)

Aku mendengar ada suara orang lain yang sedang berada di dekatnya. Sepertinya aku mengenal suara itu meski tidak terdengar begitu jelas apa yang diucapkannya.

(Waalaikumussalam, maaf jika Abim menelpon di waktu yang tidak tepat. Kalau begitu matikan saja)

(Siapa Aulia, Abim?) suara samar ini semakin jelas terdengar. (Iya, Ham)

(Sudah dulu ya Abim. Nanti Aulia telpon lagi kalau sudah di rumah)

Aku tak menjawab lagi, telepon langsung aku matikan tanpa mengucapkan salam.

Ham, Aulia menyebut singkatan nama itu. Suaranya juga sangat ku kenali.

Argh, mungkinkah Ilham? Tapi terdengar dari nada bicaranya memang benar adalah Ilham teman SMPku dulu. Tapi, sedang apa dia bersama Aulia?

Aku menaruh ponselku di atas meja kemudian melenggang pergi menuju dapur untuk meneguk beberapa tetes air. Pikiranku sedang kabut kali ini, niat hati menelpon pujaan hati untuk menghilangkan rasa tak karuan ini, namun ternyata malah menambah beban pikiran dan hati.

Syara bel berbunyi nyaring. Aku segera mengecek siapa yang datang.

Pintu kubuka.

"Assalamu'alaikum," ucap sosok yang tengah berdiri di hadapanku.

Mataku tercengang setelah menangkap sosoknya. "Waalaikumussalam, Gus." Aku sedikit tidak percaya. Gus Adnan datang mengunjungiku.

"Silakan masuk, Gus!"

Aku mengikuti langkah Gus Adnan yang sudah melangkah pada lantai asramaku ini.

"Silakan duduk dulu, Gus. Mau minum apa biar ana buatkan!" ujarku.

Gus Adnan duduk di kursi kemudian dia memperlihatkan telapak tangannya ke arahku. "Tak perlu, Bim. Ana cuman mau ngobrol sama antum sebentar."

Aku mengangguk pun duduk pula siap untuk mendengarkan setiap perkataan yang Gus Adanan akan lontarkan.

"Gini, Bim. Ana ke sini cuman mau ngasih tahu amanah Abah, kata Abah kamu pulang ke pondok nanti tanggal delapan oktober, pulang sebentar karena ada yang mau Abah sampaikan."

Aku manggut-manggut. "Nggih, in syaa Allah, Gus."

Sebenarnya ingin aku menanyakan satu hal, kira-kira apa yang ingin kiayi sampaikan sehingga harus menunggu tanggal sekian.

"Bim." Gus Adnan menatapku lebih serius.

Aku mengangkat sedikit kepalaku. "Na'am, Gus."

"Apakah antum akan melakukan semua perintah Abah?" tanyanya dengan nada bicara yang lebih merendah dari sebelumnya.

"In syaa Allah, Gus. Bagaimanapun ana sudah berjanji pada diri ana sendiri, apapun yang Kiayi pinta bahkan nyawa ana sekalipun ana siap memberikannya, Gus. Jasa kiayi sangat besar, ana nggak akan bisa membalasnya. Ana sudah mengkhodamka seluruh jiwa raga ana pada kiayi."

"Meskipun hal yang sangat antum cintai?"

Deg. Aku langsung mengangguk yakin meski ada getaran yang tanpa sadar di dalam diriku.

Gus Adnan tersenyum sekilas lalu bangkit dari duduknya. "Syukron, Bim. Cuman antum yang bisa mengembalikan cahaya di rumah kami." Gus Adnan menepuk pundakku.

"Maksud antum, Gus?" tanyaku kebingungan dengan maksud dari yang Gus Adnan katakan.

"Tidak ada, Bim. Kalau gitu ana pamit ya. Ana masih banyak urusan."

"Nggih, Gus. Syukron sudah berkunjung kemari."

Gus Adnan mengangguk.

"Assalamu'alaikum"

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakotahuh."

Gus Adnan sudah melenggang pergi. Tempat ini sudah menjadi pijakannya, sudah sangat tidak asing baginya bahkan setiap jalan yanga ada mungkin sudah ditapak oleh kakinya karena dahulu masa remajanya habis untuk menuntut ilmu di tempat ini.

Aku kembali masuk ke dalam asrama.  Membuka kembali kitab yang harus aku kuasai.

Dering telepon berdering. Kitilik sebentar nama panggilan dari Aulia. Kali ini adalah kali pertama aku mengabaikan panggilan telepon darinya. Entah kenapa rasanya hatiku sedang tak ingin dahulu mengingatnya, mungkin karena aku sedikit kecewa padanya.

Aku kembali melanjutkan memuthola'ah(mengulang pelajaran). Lembar demi lembar sudah terbuka, aku bisa menghabiskan berjam-jam waktu setiap hariku hanya untuk mengulang kembali pelajaran. Bukan hanya aku, semua santri maupun santriwati yang ada di sini pun demikian. Mereka menghabiskan waktu dengan kitab-kitab mereka di manapun mereka berada.

Aku masih belum bisa begitu fokus dengan pelajaran, ada hal yang sangat mengganggu pikiranku.

Selesai salat subuh, aku duduk di masjid seperti biasanya hingga menunggu waktu dhuha.

"Assalamualaikum ya akhi."

"Waalaikumussalam. Agam."

Agam tertawa sekilas dan pelan. "Bagaimana hafalan antum, sudah lebih baik?" tanyanya.

Aku menutup mushafku lalu menggeleng seraya tertunduk lesu. "Belum, Gam. Masih sama."

Agam menepuk pundakku. "Yang sabar, nanti setelah dhuha temui ana di depan masjid. Ada yang mau ana tunjukkan ke antum."

"In syaa Allah."

"Alhamdulillah, kalau gitu ana mau ambil wudhu dulu. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam."

Sedari kemarin rasanya hidupku terasa hambar, hafalan serta pelajaran dari syaikh bahkan shalatkupun terasa hambar. Ini adalah kali pertama aku merasakan hal ini, sungguh tidak nyaman.

Tak henti aku berdoa agar bisa kembali seperti semula, semangat dan khusyu beribadah.

Aku kembali membuka mushafku namun pikiranku malah tertuju pada ponsel yang sedang berada di dalam saku gamisku.

Aku pun merogoh ponsel persegi panjangku lalu membuka riwayat panggilan yang sudah berjejer nama Aulia dalam daftar panggilan tak terjawab di sana.

"Aulia, maafkan Abim."
Kembali ponsel kemasukkan ke dalam kantong.

Matahari telah naik, saatnya untuk melaksanakan salat sunnah dhuha dan kemudian menepati janjiku pada Agam untuk menemuinya di depan masjid setelah ini.

Delapan rakaat tekah tunai aku kerjakan, tak lupa doa juga telah aku panjatkan.

Punggung Agama nampak dari belakang, dia sedang berdiri tepat di depan pelatar masjid ini.

"Sudah lama menunggu, Gam?" tanyaku.

"Tidak, Bim. Ana juga baru saja di sini. Mari kita berangkat!"

"Sebenarnya kita  mau ke mana?" tanyaku sebelum mengiyakan langkah kakinya.

"Sudah antum ikut saja. Pastinya ke tempat yang bisa bikin pikiran antum jauh lebih tenang."

Aku tak menggubrisnya lagi, kami pun melangkahkan kaki bersama dan Agam mengajakku untuk naik taksi ke tempat yang ingin ditujunya.

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang