Gelora Penuntut Ilmu

37 4 1
                                    

Saat aku membaca surah al-fatihah pada ayat ke-6. Sebuah keajaiban yang dinanti akhirnya mulai menampakkan diri.
‘Abim,’ terdengar samar dari balik telepon.
Bacaanku terhenti. Aku dan Gus Adanan saling menatap kemudian kami bersamaan menatap ponsel.

‘Mi, itu suara Abim?’ Suaranya semakin jelas terdengar.

‘Alhamdulillah, Nak. Iya, Yang kamu dengar itu suara Abim.’

‘Abim pulang, Mi?’

‘Tidak, Nak. Abi sedang menelpon.’

Gus memintaku untuk berbicara kembali.
“Assalamu'alaikum, Ning. Ini ana, Abim.”

Pikirku membayangkan saat ini Nyai pasti tersenyum haru dan mungkin meneteskan air mata karena rasa bahagianya.

‘Walaikumussalam, Abim. Tolong lanjutkan sampai selesai bacaan antum, afwan tadi ana memotong.’memotong Suaranya terdengar canggung.

“Baik, Ning. Bismillah.” Aku pun melanjutkan bacaanku, ayat terakhir pada surah alfatihah dengan langgam lagu jihadis ini.

‘Abim, kata Ning syukron sudah dibacakan al-fatihah.’

“Afwan, Nyai. Syukron istirahat juga sudah diizinkan.”

‘Ada yang mau antum katakan ke Ning, Bim. Sebelum ana tutup teleponnya karena Ning perlu istirahat, antum juga pasti sangat sibuk di sana.’

‘Nggih, Nyai syukron. Semoga Ning segera diberi kesembuhan. Dan juga, Ning jangan lupa untuk selalu bahagia.’ Aku kehabisan kata-kata, ini adalah kali pertama aku seperti ini berbicara pada Ning sedikitpun ini setelah kertas bucin yang dulu didapatkan olehnya.

‘Kata Ning, terimakasih doanya. In syaa Allah, Zahra akan berusaha untuk selalu merasa senang dan bahagia.’ Nyai menyampaikan apa yang Ning katakan.
Aku menyerahkan ponsel Gus kembali. Gus masih belum berhenti tersenyum.
“Ummi jangan terlalu kecapean, jangan lupa istirahat. In syaa Allah besok Adnan pulang. Semoga Abah sama Zahra kembali sehat wal-afiat lagi.”

Panggilan telah terputus. Gus pun langsung meraih tanganku dan ia berterimakasih dengan sangat kepadaku.
Gus Adnan memelukku. “Makasih, Bim. Ana nggak tahu lagi harus ngomong apa ke antum. Ana sangat-sangat berterima kasih.”

“Afwan, Gus. Antum tidak perlu berterimakasih ke ana. Ana nggak ngelakuin apa pun. Ini semua dari Allah berkah surah alfatihah.”

Gus melepaskan pelukannya. “Antum benar, ini semua adalah kuasanya Allah. Tapi bagaimana pun, ana bener-bener berterimakasih sama kamu.”

“Baik, Gus. Afwan.”
Setelah selesai makan, aku dan Gus Adnan pun beranjak dan mulai melanjutkan perjalanan karena Gus Adnan besok pulang, ia berniat ingin membeli beberapa buah tangan dari Mesir. Kami singgah di suatu pasar yang cukup ramai yaitu bazar khan el-khalili yang penuh dengan survernir dan banyak lagi.
“Kita ke toko parfum dulu ya, Bim.”

“Na’am, Gus.” Aku mengikuti Gus Adnan, kami masuk ke suatu toko parfum, pertama masuk ke dalam kami langsung saja disambut dengan aroma harum dari para parfum yang ada.  Gus Adnan menyebutkan merk parfum yang ia cari dan penjaga toko pun segera melayani.

“50 ml, 100ml?” tanya penjaga toko.

“100 ml, empat botol.”

“Bim, coba sini antum cium.” Gus Adnan memintaku untuk mencium aroma yang akan dia beli itu.

“Gimana, enak nggak?” tanya Gus Adnan setelah aku menghirup aroma parfum yang penjaga toko semprotkan ke punggung tanganku.

“Wangi, Gus.”

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang