Ning Zahra telah berdandan rapi, seperti biasa gamisnya selalu labuh hingga ujung kaki. Aku langsung pergi ke dapur setelah salat syuruk. Memasak bubur untuk Ning dan kiayi.
"Abim, antum ngapain di dapur pagi-pagi gini?" tanya Nyai yang baru saja datang ke dapur.
"Anu, Nyai. Ana lagi masakin bubur buat kiayi sama ning," jawabku takdzim. Dia adalah mertuaku, juga istri dari guruku.
"Ma syaa Allah, Bim. Zahra emang beruntung punya suami kayak antum. Sudah sholeh, pinter, perhatian lagi sama istri."
Aku tersenyum saja. Sebenarnya, aku melakukan ini bukanlah bentuk perhatianku pada istriku, melainkan hanya aku anggap sebagai upayaku menunaikan janjiku pada Gus Adnan dan Kiyai.
Gesekan roda dengan lantai terdengar mendekat, sekarang suara itu tidak asing di telingaku.
"Mas, ternyata antum di dapur." Suara ning terdengar sangat lembut.
"Ning, ngapain ke sini. Antunna tunggu saja di kamar, sebnatar lagi buburnya mateng kok."
"Mas, ana kan udah bilang nggak usah repot-tepot. Biar Zahra saja."
"Ehem... Kayaknya Ummah jadi nyamuk nih."
Raut wajah Ning berubah, pipinya memerah.
"Afwan Nyai..." Aku lewat di depan nyai dengan takdzim.
"Ning, antunna di kamar saja. Ning kan masih belum sehat total. Bener nggak Nyai?" tanyaku pada Nyai meminta persetujuan.
"Bener kata suamimu, Zahra di kamar saja. Antum juga Bim. Masalah dapur biar Ummah yang urus." Nyai terkekeh pelan.
"Kok ana juga kena, Nyai?"
"Pengantin baru nggak boleh kerja di dapur, di kamar saja! Sudah sana!"
Tiba-tiba Gus Adnan juga datang ke dapur. "Ada apa sih ini ribut-ribut. Masih pagi loh." Gus Adnan langsung mengecup punggung tangan Nyai.
"Ini loh, Nan. Dua pengantin baru ini rebutan mau kerja di dapur. Harusnya kan Ummah bilang mereka di kamar aja. Eh, mereka malah protes ngotot mau di dapur aja."
Gus Adnan mendatangi aku dan Ning Zahra. Ia menatap wajah Ning Zahra yang sedari tadi berusaha mengulum senyuman manisnya. "Cie adiknya abang sudah bersuami ya. Pasti Zahra pengen melayani suamimu kan? Masakin suamimu." Gus mendongak menatap ke arahku. Ning Zahra mengangguk pelan mengiyakan.
"Sini abang kasih tahu. Melayani suami itu bukan berarti kamu harus masak, Dek. Tapi, dengerin kata suami kamu. Dia maunya apa, dia mau kamu di dapur ya kamu ke dapur, tapi kalau dia maunya kamu di kamar ya kamu di kamar. Paham?" Gus mengusap lembut kepala Ning Zahra yang tercover sempurna oleh jilbab labuhnya.
"Mengerti, Bang." Ning Zahra langsung memeluk Gus Adnan. Ikatan saudara mereka sangat kuat. Aku tanpa sadar tersenyum melihat pemandangan ini.
Saat Ning Zahra menjatuhkan tatapannya pada mataku, ia langsung mengulum senyumnya dan melepaskan pelukannya pada Gus Adnan. "Mas, Zahra minta maaf sudah nggak nurut sama Mas."
Detak jantungku terpacu lagi saat tatapanku jatuh dalam bola mata Ning Zahra. "I-iya, Ning. Ndak perlu minta maaf juga. Sekarang, kita ke kamar ya."
Anggukan kecil itu segera berhenti. Aku meraih gagang kursi roda Ning Zahra. Gus Adnan menepuk pelan pundakku, sempat ia bisikkan di telingaku sebelum aku beranjak meninggalkan dapur bersama Ning Zahra menuju kamar.
"Makasih, Bim."
.
.Aku tengah memutar pena, menatap kutub(kitab-kitab) yang tersusun rapi pada rak buku. Sejak tiga puluh dua menit yang lalu, aku sudah duduk di sini, perpustakaan pondok yang penuh dengan kutub dan juga buku-buku yang beragam, dari sejarah hingga cerita cinta pun ada. Tapi, tidak dengan buku cerita yang menayangkan cinta anak remaja yang mabuk dengan dunia. Pondok mengesampingkan buku-buku genre seperti itu agar para santri tidak terpengaruh dan membayangkan hal semacam itu.
Sejenak hening saat jaros(lonceng) masuk berbunyi, aku masih tak berkutat dari dudukanku. Hatiku tengah bertahun pilu, gelisah dan sendu berbaur menjadi satu kesatuan yang membuat tubuhku sekaan lunglai tak berdaya untuk bangkit menatap binar dunia.
Kronisnya, hari menjelang malam yang aku takutkan beberapa hari ini, di mana aku harus mengetuk pintu dan meraih gawainya sehingga saat pintu terbuka kudapati sosok perempuan yang bermata kaca itu tersenyum padaku.
Aku lelaki biasa yang pastinya punya sifat yang lumrah dimiliki oleh jiwa kelakianku. Aku harus menahan desakan napas yang memenuhi rongga dadaku setiap kali tanpa sengaja melihat sosoknya yang tidak bisa kupungkiri kemolekannya.
Ning, maafkan aku. Entah sampai kapan begini, aku tak bisa melakukan kewajibanku sebagai suami. Hakmu padaku tak bisa kau renggut.
"Ustaz, ternyata antum di sini, ana nyariin antum seantero pondok loh." Arka menepuk pundakku, itulah ia yang tak berubah sedikitpun meski dia juga telah bergelar ustaz di pondok ini.
"Kenapa ndak nelpon ana?" tanyaku.
"Ndak kepikiran." Arka mengambil buku di rak secara acak. "Eh, Bim. Gimana antum dengan Ning, kalian sudah tidur bareng?" bisik Arka di telingaku seraya ia mengedarkan padangan.
"Astagfirullah, Arka." Sontak saja aku mendorong wajah Arka. "Bisa-bisanya antum nanya begituan ke ana." Nafasku memburu.
"Afwan, kan an cuman penasaran aja. Kenapa sih, Bim. Antum sekarang posesif banget, antum berubah tahu. Kadang diem eribu bahasa sambil ngelamun, kadang kaya singa yang baru keluar kandang."
Aku menunduk pilu, tak marah dengan pernyataan Arka. Benar, apa yang Arka ucapkan memanglah benar. Sekarang, aku begitu sulit mengontrol emosiku.
"Afwan, Arka. Ana sedang banyak pikiran."
"Aulia..."
Aku menatap binar mata Arka. "Siapa lagi kalau bukan dia."
Arka menepuk pundakku pelan. "Yang sabar ya, Bim!"
"Beri ana saran! Ana harus gimana?"
"Antum benar-benar belum nyentuh Ning kan?" tanya Arka menusuk jiwa akan intonasinya.
Aku menggeleng saja. "Ana sudah janji sama Zakki dan juga pada diri ana sendiri."
"Aulia pasti akan mengerti, Bim. Nanti, jika waktunya telah tepat, antum harus ceritain semuanya ke dia. Selama antum tidak menyentuh, Ning maka keadaan masih bisa terkendali."
Hatiku yang sesak kini melonggar setelah mendengar ucapan Arka yang penuh dengan intonasi kelembutan ini. "Antum yakin?" tanyaku menguatkan.
"In syaa Allah. Kalau perlu, ana akan bantuin antum ngomongin ini ke dia."
"Terus, masalah dengan Ning gimana?" tanyaku lagi.
"Masalah dengan Ning bisa saja diurus sembari dijalani. Antum berlakulah seperti seorang khodam, layani ia soal kebutuhan setiap harinya. Tapi, masalah ranjang usahakan untuk menahan diri. Kalau pun Ning menuntut haknya sebagai seorang istri, usahaknlah menolaknya dengan baik jangan menyakitinya. Antum tahu, ia putri kiayi. Jangan sampai melukai hati kiayi kaeena kiayi sangat menyayangi putri beliau."
Aku segera memeluk Arka. "Syukron. Antum memang shohib ana yang terbaik."
Kami berdua pun tertawa. Setelahnya, Arka mengajakku untuk makan karena tadi siang aku memang belum menelan sebintir nasipun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Fiksi RemajaUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...