Tak Sempat

43 5 4
                                    

"Assalamu'alaikum, Abi. Abi sama Ummi apa kabar di sana?" tanyaku dari balik panggilan telepon, rasanya bibirku gemetar menahan isakan yang berusaha keras aku pendam hingga padam.

"Walaikumsalam, Abim. Ummi sama Abi baik, sehat di sini. Kamu gimana, Nak? Gimana di pondok sudah betah?" Suara Abi terdengar begitu girang setelah mendengar suara anak sematawayangnya ini.

Aku menerka bagaimana ekspresi wajah ummi dan abi dari sebalik panggilan telepon ini. Mereka berdua tersenyum haru dengan rona mata yang berkaca-kaca, sepertiku. Tak bisa kupungkiri, aku pun merindukan mereka berdua.

"Alhamdulillah, Bi. Abim juga baik dan sehat. Abi sudah merasa lebih nyaman di pondok dari sebelumnya."

"Alhamdulillah, Nak. Tunggu, Ummimu mau bicara."

Aku menunggu suara ummi yang lembut itu menyapa telingaku.

"Anak Ummi yang saleh. Belajar yang pinter ya, Nak. Jangan lupa bangun subuhnya jangan kesiangan."

Akhirnya tanggul air mata ini pecah juga. Cepat sekali tanganku menyibaknya hingga  air mata tak sampai jatuh ke pipi.

"Ummi, Abi. Abi ada kabar gembira."

"Kabar apa itu, Nak?" tanya mereka.

"Sketsa bangunan Abim akan jadi kenyataan. Sketsa Abim mau dijadikan bangunan perpus di pesantren."

"Alhamdulillah, Nak. Abi sama Ummi seneng dengernya. Kamu jaga diri baik-baik di sana, jangan terlalu kecapean. Ingat istirahat, Nak. Abi sama Ummi di sini akan selalu mendoakan kamu."

"Makasih Abi, Ummi."

Selepas menerima telepon, rasanya beban hidupku telah berkurang drastis. Benar kata Gus Adnan, segala masalah harus diselesaikan dengan kepala dingin hingga menghasilkan tujuan yang mendinginkan hati dan pikiran pula. Makasih Gus atas nasehat antum.

"Bim, Abim."

Aku tersadar dari lamunan.

"Eh, iya Gam. Maaf, pikiranku kemana-mana."

Agam tersenyum kepadaku lalu merangkul bahuku. "Kayaknya antum perlu minum deh, Bim. Mari, hari ini ana yang traktir!"

"Yang bener nih, Gam? Antum seriusan?"

"Iya, ana serius. Tapi ingat, yang murah saja. Jangan yang mahal!" Agam tertawa. "Bercanda!! Antum boleh milih sesuka hati antum kali ini."

"Nah gitu dong, baru semangat."

Selesai mengisi perut, kami berdua pun berkeliling dna tak lupa untuk mengambil beberapa potret diri kami di sini. Aku sangat suka dengan bentuk bangunan yang ada di sini, sungguh indah, megah dan punya ciri khas tersendiri. Aku tak lupa membawa buku gambarku untuk melanjutkan desain bangunan yang masih aku kumpulkan bentuk referensinya. Jika aku mendapatkan suatu ide maka aku akan segera menuangkan beberapa coretan di atas kertas gambarku.

"Ngapain, Bim?" tanya Agam.

"Biasa, Bim. Lanjutin hobi."

"Antum bener-bener pengen jadi insinyur, Bim?"

"Iya, Gam." Aku menutup kembali bukuku lalu menatap ke depan.

Tepukan pundak membuatku tersenyum. "Antum pasti bisa gapai mimpi antum, kita punya impian masing-masing namun kita punya jalan yang sama yakni menuntut ilmu agama. Bagaimana pun nanti jalannya ana yakin, dengan ilmu agama serta doa, kita pasti perlahan akan mencapai impian kita."

"Antum benar, Gam."

Agam menarik garis senyumnya. Tiba-tiba tatapannya berbeda, seperti ada kebingungan dengannya.

"Bim, maaf kalau ana lancang. Sebenarnya antum ada masalah apa beberapa waktu ini? Jika antum mau, antum bisa cerita ke ana, barangkali sedikit banyaknya ana bisa bantu atau sekedar memberi solusi."

Sekarang aku terdiam. Apa gang harus aku ceritakan pada Agam, tentang Aulia? Ah itu adalah hal b*d*h baginya. Dia tak akan mengerti tentang apa yang aku rasakan.

Dering telponku bergetar dari dalam saku.

Sorot mata Agam mengarah pada saku bajuku.

"Ana rasa sudah yang kesekian kalinya ponsel antum berdering, sepertinya ada hal penting. Angkatlah dulu!"

Agam pun melenggang menjauh dariku, dia berjalan seraya melihat-lihat bangunan sekitar.

Aku membuka layar poselku, mencoba menambah kecerahan layar yang hampir tak nampak karena aku berada di bawah sinar matahari saat ini. Seperti yang kuduga, panggilan telepon dari Aulia, sudah yang ke dua puluh tujuh kali. Aku benar-benar telah mengabaikannya, begitu juga dengan spam chat yang tak kunjung aku buka dari semalam.

'Assalamu'alaikum. Maaf Aulia, Abim sedang sangat sibuk sekarang, bisa lanjutkan bicara nanti saja?'

'Waalaikumussalam, tunggu Abim. Aulia mau bicara sebentar saja.'

'Tapi.'

'Dua menit, pliss.'

'Bicaralah!'

Terdengar helaan nafas Aulia panjang.

'Abim, Aulia tidak tahu apa kesalahan yang Aulia lakukan ke Abim hingga Abi mengabaikan semua panggilan telepon dan pesan Aulia. Tapi Aulia percaya, Abim tiada niatan untuk melakukan itu semua melainkan Abim sedang benar-benar sangat sibuk di sana. Aulia sepenuhnya percaya sama Abim. Abim jaga kesehatan, jangan terlalu memaksakan diri dan ingatlah, Aulia selalu menunggu Abim pulang.'

Tut tut tut. Panggilan terputus.
Baru saja aku menghayati bait perkataan Aulia yang tersusun sangat indah itu, sialnya panggilan telah selesai sebelum aku mengatakan sebait dua bait jawaban padanya, bahkan untuk mengucapkan salam sebelum menutup panggilan. Sial, ponselku kehabisan daya.

Mau bagaimana lagi, mau meringis juga tak ada guna. Charger ponselkupun tidak kubawa.

Brukk suara ada yang terjadi disusul dengan jeritan pendek. "Aww."

Mataku menilik ke sumber suara, ada seorang perempuan yang sedang terduduk di tanah. Aku segera menghampirinya tak lain untuk membantunya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku dalam bahasa orang Mesir seraya membantunya mengumpulkan barang miliknya yang jatuh ke tanah.

"Thanks, but can you speak english?" ujarnya  dengan bahasa inggris. Ya, dia bukanlah orang mesir.

"Yes, sure."

Meski bahasa inggrisku tidak begitu baik, tapi aku masih ingat beberapa dari pelajaranku waktu duduk di bangku sekolah negeri.

"Are you okey?" tanyaku kembali.

"I'm fine. Thanks."

Dia telah bangkit berdiri, begitu banyak barang yang sedang dia bawa.

"Barang bawaanmu terlalu banyak. Ke mana kamu mau pergi, biar saya bantu membawakannya." Aku menawarkan diri.

Perempuan itu menjawabnya dengan menunjukkan jari jempolnya ke arah bangunan tempat dimana aku dan Agam makan tadi. Dia terlihat memperbaiki ujung kerudungnya dengan menyelempangkannya ke bahu kirinya. Rambutnya pirang, dengan potongan rambut bob.

Aku pun membawakan sebahagian besar barang bawaannya. Kami berjalan berdampingan dengan jarak lebih kurang setengah meter. Aku mencoba menilik ke kanan dan kekiri yang mana tidak kutemukan keberadaan Agam yang tadi hanya berdiri di sekitaran tiang masjid ini.



Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang