(Maaf, Aulia. Abim telat hubungin Aulia hari ini)
(Nggak apa-apa, Bim. Aulia juga baru aja istirahat habis praktik ini)
Aulia, perempuan pekerja keras meski kehidupannya sudah jauh dari kata cukup. Sekarang, dia masih fokus pada kuliahnya jurusan kedokteran yang menjadi cita-citanya sedari dulu. Aku yakin, dia pasti bisa menggapai mimpinya karena tiada yang menghalangi hal itu termasuk biaya yang terbilang lumayan besar bagiku.
(Abim, hari ini Aulia seneng banget. Abim tahu?)
(Alhamdulillah, kamu harus selalu seperti ini, Aulia. Memangnya ada apa, bukankah kita tidak ada bertemu hari ini?) Aku sedikit tertawa.
(Pasti, Abim. Bertemu dengan Abim memang suatu puncak kebahagiaan bagi Aulia tapi hari ini Aulia berhasil menjalankan praktik, Aulia juga dapat teman yang cantik dan manis)
(Emang ada yang lebih cantik dan manis dari kamu?)
(Abim, ini Aulia lagi serius cerita)
Mendengar suara indahnya itu sudah sangat sangat cukup menjadi pengobat rindu. Cukup lama berbincang dengannya meski lewat telepon saja sudah membuatku merasa kami sedang duduk bersama dan berbincang seraya saling menatap tanpa sekat yang memisah. Begitu dekat, sebagaimana salah satu bait yang kubaca di dalam buku cerita tentang jatuh cinta jauh di mata namun dekat di hati sungguh aku rasakan kala ini.
Perihal cinta aku memang bukan pakarnya, namun perihal perasaan wanita yang amat aku cintai ini sungguh terdengar dari alunan suaranya, dia memang sedang bahagia. Katanya, dia bertemu sosok yang menginspirasinya, orangnya canti, manis dan tutur katanya lembut. Ah, sudahlah. Aku tak tahu dia siapa, tapi aku ucapakan terimakasih banyak karena telah membuat Auliaku bahagia hari ini.
Aku berjalan cepat menuju rumah Kiayi karena mendapatkan panggilan yang sangat mendadak. Senyum yang semula mengembang karena Aulia kini berubah menjadi peluh dingin dengan ekspresi yang aku sendiri tak tahu keadaanku saat ini.
"Akhi Abim, sini" Al-Ah Raden memanggilku.
"Nggih."
Kali ini bukan rumah Kiayi, namun di Aula tempat perkumpulan para santri dan para pengurus untuk musyawarah atau pengumuman acara-acara pondok. Aku berusaha menerka, kurasa pondok tiada memiliki acara apapun dalam waktu dekat ini.
Kiayi merangkul pundakku, semua sorot mata tertuju kepadaku bersama Kiayi karena memang kami berdiri di depan mereka.
"Abim, selamat!" Kiayi menjulurkan tangan kepadaku.
Aku yang kebingungan ini pun segera mencium tangan Kiayi seperti yang biasa kami para santri dan pengurus lakukan.
"Afwan Kiayi, maksudnya selamat apa nggih?" tanyaku sopan.
"Selamat, antum dapat beasiswa ke Mesir."
Sorakan tepuk tangan menyelorohiku. Ragaku rasanya tak menginjak bumi, aku melayang entah ke mana pergi rasa ini.
"Saya sudah memberitahukan dan meminta izin pada orang tuamu, besok antum pulang ke rumah, temui orang tua antum dan minta doa sama mereka."
Aku tak tahu harus bagaimana dalam berekspresi. Haruskah aku senang? Atau malah bersedih karena haris semakin jauh dari Aulia.
Ucapan selamat tiada henti-hentinya menyapa diriku di sepanjang perjalanan menuju dapur pondok. Sedangkan aku masih saja dalam keadaan bingung ini.
Sesampainya aku di dapur pondok, aku langsung mengambil air dan meminumnya serta menumpahkan ke wajahku. 'Aku harus bagaimana? Bagaimana caraku untuk memberitahukan Aulia?' kecamuk di dalam pikiran ini sungguh membuatku hampir tak bisa bernapas .
"Ma syaa Allah kawan kita mau ke mesir ini." Tepukan di bahuku tak membuatku goyah dalam pikiran yang sama.
"Akhi Abim!" suara Zakki terdengar jelas.
Aku memegangi kedua pundak Zakki dan menatapnya. "Zakki, ana harus gimana sekarang?"
"Maksud antum?"
Aku melepaskan tanganku dari bahu Zakki. "Zakki, gimana ini. Kalau ana pergi ke Mesir, otomatis akan semakin mustahil untuk bertemu Aulia. Antum tahu itu kan?"
"Akhi Abim. Ini adalah satu kesempatan yang sangat diidam-idamkan oleh semua santri. Apakah antum akan menyia-nyiakannya begitu saja? Dan coba antum pikirkan dan ingat lagi, gimana perasaan kedua orang antum jika antum mengambil kesempatan ini."
Aku terdiam sejenak, menelan apa yang Zakki katakan.
"Antum benar, Zak, Tapi, ini masalah hati. Bagaimana ana ngomong ke Aulia. Rasanya berat."
"Itu masalah mudah, Bim. Besok kan antum pulang ke rumah, nanti antum ajak Aulia ketemu buat ngomong langsung sama dia. Ana yakin, Aulia pasti ngerti dan ngedukung antum."
"Kalau dia nangis gimana? Ana nggak sanggup liar air matanya jatuh di depan mata ana sendiri."
"Percaya sama ana, Bim. Kalau ngomong secara langsung jauh lebih bisa mengerti dengan keadaan. Semangat!"
Zakki melenggang pergi dari hadapanku, banyak pekerjaan yabg harus dia lakukan untuk keperluan memasak besok pagi. Banyak sekali perut para santri yang harus dia isi setiap harinya.
Aku mendengkus pelan, apa yang Zakki katakan itu tidaklah luput dari logika dan perasaan. Sepertinya aku harus memungut nasehatnya itu.
"Aku pasti bisa ngomong ke Aulia soal ini. Ya Allah, mudahkanlah!"
Aku menjalankan tugasku sebagaimana mestinya menjadi pengurus. Kegiatan belajar malam yang menjadi rutinitas bagi para santri mengulang pelajaran sudah menjadi kegiatan wajib yang selalu harus aku awasi, tak sedikit dari mereka yang menggunakan waktu belajar malam ini hanya untuk mengobrol sesuatu hal yang keluar dari jalur pembelajaran bahkan adapula yang menggunakan waktu ini untuk tidur atau bercanda-ria saja.
"Ya Akhi, qum(bangun)! Iftah kitabuka(buka kitab antum)!" ucapku dengan tegas.
Gejolak rasa di dada masih belum berhenti. Kecamuk kegelisahaan ini harus kupendam kala ini. Sebagai lelaki sejati, tanggung jawab di atas segalanya. Tidak mencampur masalah pribadi ke dalam kegiatan tanggung jawab ini sangat utama.
"Al-ah Abim," panggil Arka, temanku waktu masih seasrama.
Aku mendatanginya. "Macam, ada apa Arka?" tanyaku.
Arka membisikkan sesuatu padaku.
"Yang jelas dong, Arka. Ada apa kok main bisik-bisik?"
"Syut!! Jangan keras-keras nanti kedengeran Al-Ah Raden, bisa mati ana," ucap Arka setengah berbisik. "Temui ana di dapur!"
Tanpa bertanya lagi, tak lama setelah Arka pergi meminta izin ke toilet aku pun menyusulnya.
"Arka, ada apa? Kok main sembunyi-sembunyian gini?"
Arka langsung saja menutup mulutku dengan tangannya kala aku baru saja masuk ke dalam dapur. Ternyata bukan hanya Arka, Zakki juga berada di dapur.
"Zakki, kenapa masih di dapur? Bukannya antum juga harus muthola'ah (mengulang pelajaran)?"
"Tenang dulu, Bim! Ada hal penting yang mau kami omongin ke antum," sambar Arka.
Beginilah kalau sudah temenan, mau setinggi apapun jabatan kita ya tetap saja perilaku kala berteman tak bisa dirubah. Apalagi Arka, manusia yang sangat tak menganggapku sebagai pengurus. Baginya aku ya tetap Abim yang dulu sekamar dengannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/341195503-288-k846553.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Ficção AdolescenteUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...