Di dalam taksi, Agam sibuk memurojaah hafalannya. Sesekali aku menatap ke arahnya dan ia hanya melontarkan senyuman tipis ke arahku. Aku berdiam diri seraya melihat-lihat pemandangan yang kian kami lalui.
"Sudah sampai, Bim." Agam menggerakkan tubuhku. Ternyata, tanpa sadar aku tertidur di perjalanan. Aku mengucek mataku lalu kemudian bangkit dan ikut Agam turun dari taksi. Setelah Agam menyerahkan uang pembayaran, dia pun memintaku untuk mengikutinya.
"Gam, bukannya baru seminggu yang lalu kita ke sini?"
"Na'am. Ini adalah salah satu tempat yang selalu ana kunjungi, Bim. Mari!"
Saat ini kami berada di qal'ah (kubu) Sultan Salahuddin Al-Ayyubi. Yang mana di sini banyak pula terdapat masjid yang masyhur dikunjungi.
Kami berjalan cukup jauh hingga akhirnya sampai di dalam kubu militer ini. Meriam berjejer menyambut kehadiran pengunjung.
"Bim, antum tahu tentang Sultan Salahuddin Al-Ayubi?" tanya Agam seraya berjalan berbarengan denganku.
"Lumayan, Gam. Dari buku-buku sejarah."
"Beliau adalah sosok inspirasi ana, Bim. "
"Sosok insipari?"
"Na'am. Ana pengen jadi pemimpin seperti beliau, ya bukan melulu jadi pemimpin negara dengan gelar presiden sih, namun ana pengen mengabdikan diri pada negeri kita Indonesia dengan berlandaskan kejujuran serta berbekal ilmu sebanyak-banyaknya serta keberanian yang tidak akan padam. Sebagaimana keinginan almarhum ayah sama bunda ana dulu."
Keinginan ayah dan bunda? Otakku langsung saja mengerjap pada ingatan tentang ummi dan abi.
Flash back moment...
"Bim, Abah dan Ummi ndak menuntut apa-apa dari kamu. Abi sama Ummi hanya menginginkan kamu jadi manusia yang beragama dan berguna, Nak. Abi dan ummi menyekolahkan kamu sebisa abi dan ummi bukan untuk kamu memakai gelarmu, tapi biar kamu mengamalkan semua ilmu yang sudah kamu dapatkan, Nak. Abi dan Ummi hanya berharap kamu bisa hidup terarah dengan tuntunan agama, bisa pula membawa orang-orang di sekitarmu dengan kalam-kalam agama. Jadi pemimpin yang baik dalam keluarga, dalam rumah tangga dan dalam lingkungan di manapun kamu berada."
Lampu redup menjadi saksi bisu atas menetesnya air mataku, aku yang berusaha keras menentang keinginan ummi dan abi untuk masuk pesantren. Aku yang berusaha keras mengedepankan impianku menjadi seorang arsitek hebat, menjadi insinyur. Kuliah tinggi setinggi-tingginya dan mendapatkan gelar serta pekerjaan yang bisa mengangkat derajat keluarga.
Sekeras apapun aku berusaha menolak, namun keinginan ummi dan abi mutlak adanya. Aku harus berangkat menuju pondok pesantren, menepis segala desain impian yang mati. Jurusan tarbiyah pun menjadi tujuan yang harus diperjuangkan.
Selesai salat subuh, sebelum aku berangkat ke pesantren. Ummi memintku untuk bertahan sejenak. "Nak, kamu sudah besar sekarang. Ummi tahu, kamu punya pilihan hidup sendiri. Tapi, abi dan ummi hanya ingin mempersiapkan masa depan yang jauh lebih baik buat kamu, Nak." Sangat lembut ummi mengusap kepalaku.
"Tapi, ummi kan tahu kalau Abim maunya jadi insinyur, Mi. Abim pengen jadi arsitek, bukan hanya jadi pengrajin kayu apalagi jadi ustaz," ucapku kekeh.
Dengan nafas tersengal aku berusaha tak menatap mata ummi.
"Ummi tahu, Abi juga tahu itu."
"Lantas, kenapa harus ke pesantren Ummi?"
"Coba sini ummi tanya. Memangnya tidak boleh menjadi insinyur dengan latar belakang pesantren? "
Aku menggeleng lesu. "Tapi.."
Ummi segera mencegat sambungan bait yang akan aku lontarkan sebagai bentuk perlawanan."Abim, anak ummi yang saleh. Di pesantren jauh lebih baik, Nak. Nanti kamu akan merasakannya. Ke pesantren tidak melulu harus menjadi ustaz, da'i dan kiayi. Bahkan banyak pemimpin negara yang berlatar belakang pesantren, abdi negara, dokter dan sebagainya. Dengan ilmu agama akan membuatmu mudah menapaki bumi ini, mau jadi apapun, jika ilmu agama dalam genggaman tanganmu maka tiada yang sulit, Nak. Ummi dan abi akan selalu mendoakan kamu supaya bisa mencapai impianmu itu."
Pasrah adalah jalan keluarnya, percuma jua jika aku harus berkata tidak. Keputusan abi dan ummi sudah bulat sempurna.
"Abim, jangan nakal di pondok. Nurut sama kiayi, sama ustadz." Abi menyerahkan anak semata wayangnya pada lelaki berjenggot yang abi sebut Kiayi.
"Kiayi mohon dibimbing anak kami. Pukul saja kalau anak kami berani melanggar peraturan yang ada."
Ada rasa kesal di dada saat Abi dan Ummi memutuskan memasukkan aku ke pondok. Aku juga lebih banyak diam daripada biasanya, ambis yang aku punya terasa susah hambar.
Di pondok yang menjulang tembok ini membuatku gelisah, makanku tak berasa, tidurku tak nyaman. Namun, setelah dua pekan, aku mulai merasa terbiasa. Tawa juga mulai mengukir di bibir tiap kali aku mendapati teman yang seringkali bercanda. Arka, dia adalah teman pertama yang aku punya.
"Kenalin, aku Arka!" ucapnya mengulurkan tangan.
"Abim," jawabku singkat.
"Ngomong-ngomong, kamu santri baru kan di sini?" ujarnya.
"Akhi Arka, billughatil 'arabiyyah!" teriak salah seorang dari belakang Arka. Badannya tinggi dengan buku catatan kecil, dia sedang menulis sesuatu di buku kecil itu.
"Astagfirullah, kena lagi." Arka pun membalikkan badannya dan mengejar lelaki berbadan tinggi itu. Mereka berdua berlarian entah kemana.
Lelaki berbadan tinggi itu adalah jasus(mata-mata). Di pondok ini diwajibkan menggunakan bahasa wajib pondok yakni bahasa arab. Arka, selama aku di sini namanya tidak pernah absen dalam daftar hukuman.
Aku kembali melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Terdapat kurang lebih 20 kamar mandi di sini, namun tetap saja budaya mengantre menjadi makanan wajib bagi para santri.
"Man fid dakhil(siapa di dalam?)" tanyaku seraya mengetok pintu kamar mandi yang tertutup rapat.
"Ba'daka(setelahmu)!" sambungku."Man(siapa)?" suara dari dalam.
"Abim," jawabku lalu meletakkan gayung di depan pintu kamar mandi.
Aku berjalan sebentar menuju dapur, sebentar lagi waktu sarapan tiba. Tercium aroma masakan yang membuat cacing di dalam perutku bergejolak. Mereka meronta meminta jatah sarapan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Teen FictionUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...