Malam kini menemani mendungnya gemuruh di hatiku. Aku berusaha masih sibuk di kantor guru dengan beberapa buah kitab yang telah kubaca secara tak menentu. Bayangan wajah Aulia memenuhi isi kepalaku, ditambah lagi malam ini di kamar sudah ada Ning Zahra. Aku kebingungan, apa yang harus aku lakukan setelah ini?
Daun pintu memekak pendengaranku, punggung Zakki nampak saat dia kembali menutup pintu. Setelah kejadian di rumah sakit sampai hari ini, aku tidak begitu berbincang dengan Zakki, aku mengerti perasaan Zakki yang pastinya tidak akan mudah untuk menjahit luka di hatinya, melihat perempuan yang teramat dia cinta menikah denganku, sahabatnya sendiri.
Saat sorot mata Zakki tepat jatuh kepadaku, dia langsung ingin kembali ke luar dari kantor.
"Zakki, tunggu!" cegahku.
Jemari Zakki yang sudah meraih daun pintu itu pun tercekat. Perlahan hembusan napasnya terlihat jelas mendengkus. Di sini aku tidak bisa dikatakan bersalah sepenuhnya, karena Zakki tahu aku juga dalam keadaan terpaksa menikahi Ning Zahra, dan Zakki sendiri tahu aku sudah punya Aulia, satu-satunya wanita yang aku cinta.
"Zakki, ana mau ngomong sama antum!" ungkapku. Aku perlahan menyusun kembali kitab yang baru saja aku baca kembali ke dalam almari.
"Ngomong apaan, Bim? Sudahlah, sebaiknya antum pulang, temui Ning Zahra, pengantin antum!" Vibra suara Zakki mengeras.
Kutatap lekat manik mata Zakki, bibirnya bergetar. Terlihat keperihan yang nampak dari sorot matanya yang hitam kecokelatan itu. Aku adalah temannya, dan dia juga temanku. Bagaimana mungkin sanggup aku melihatnya seperti ini.
"Zakki, dengerin ana! Antum jangan begini dong, kita kan temen. Ana ga enak kalau antum diemin kayak gini seharian."
Zakki membuang pandangan. Kepalan tangannya begitu erat hingga menimbulkan lukisan urat-uratnya yang nampak ke permukaan.
"Afwan, Bim. Afwan jika ana lebih memilih menjauhi antum. Asal antum tahu apa yang sedang ana rasakan saat ini, antum pasti juga akan melakukan hal yang sama. Bayangkan saja bagaimana perasaan antum jika saja Aulia menikah dengan temen antum? Pas..."
"Cukup, Zakki!" tegasku. Napasku naik turun, kali ini aku tidak bisa menahan emosiku. Niatku baik untuk membuat perdamaian ikatan pertemana pada Zakki, tiada kusangka Zakki akan setega ini mengibaratkan Aulia. Aulia hanya milikku dan tidak akan mungkin menjadi milik orang lain.
"Zakki. Antum tahu jika ana sangat mencintai Aulia kan? Tega sekali antum mengibaratkan hal demikian. Oh, atau antum ingin merebut Aulia dari ana? Hah? Balas dendam?"
"Bim. Antum begitu sangat mementingkan perasaan antum. Tapi apa? Antum tidak pernah memperhatikan perasaan ana, antum tahu kan sebegitu cintanya ana sama Ning? Lantas mengapa antum menikahinya?" suaranya meninggi. Saat ini Zakki benar-benar emosi, sejauh yang aku tahu Zakki bukanlah orang yang seperti ini, kuyakini pasti ada sosok penunjang emosinya saat ini. Seorang provokator.
Aku menarik napas perlahan dan membuangnya. Kucoba untuk tidak larut dalam emosi ini, aku harus bisa menjadi air saat Zakki menjadi api.
"Zakki, dengerin ana! Ning pasti akan menjadi milik antum, dia adalah cinta antum dan akan menjadi milik antum." Aku berjalan ke arah Zakki dan memegangi pundaknya. "Ana tidak akan pernah mengambil hak pada Ning. Seperti yang ana bilang, kalau ana menikahi Ning hanya untuk memenuhi permintaan Kiayi dan membantunya untuk sembuh. Antum tenang saja Zakki. Ana pamit, assalamu'alaikum." Aku meraih gawai pintu lalu membukanya dan pergi ke luar dari kantor. Sempat gendang telingaku menangkap jawaban salam yang teramat pelan dari mulut Zakki, kuharap besok saat berpapasan denganku, emosi Zakki sudah enyah darinya.
Aku berdiri tepat di depan kamar, menatap pintu yang enggan terbuka selama aku tidak meraih gawai dan mencoba membukanya. Tak terdengar suara apapun dari dalam sana, Ning pasti sudah sangat tertidur dengan lelapnya. Lampu ruangan tengah juga sudah padam, tanda orang rumah sudah berada di kamar mereka masing-masing. Ada keraguan yang menggerogoti jiwaku, ada kecemasan yang menghantui pikiranku. Aku hanyalah insan biasa, lelaki yang punya naluri laki-laki. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan juga pada Zakki dan Aulia jika aku tak akan menghianati mereka. Tapi, bagaimana jika aku kalah dengan nafsu? Argh, aku sempat terpikir untuk tidur di ruangan Ustazku saja.
Baru saja aku membalikkan badan, berniat pergi. Nyai ke luar dari kamarnya.
"Zakki, mau ke mana?" tanya Nyai kepadaku.
"Ndak ke mana-mana, Nyai. Cuman mau ngambil minum saja ke dapur," jawabku beralasan.
"Oh, Zahra gimana? Dia sudah tidur?"
"Sudah, Nyai."
"Alhamdulillah kalau gitu."
Nyai beranjak pergi, aku dengan terpaksa menuju dapur dan mengambil minum. Setelah selesai minum, aku kembali ke depan pintu kamar. Masih dengan keraguan yang sama, akhirnya aku membulatkan tekadku dan meraih gawai pintu lalu terbukalah.
Kamar gelap, cahaya dari luar masuk lewat pentilasi udara. Ning masih tertidur dengan posisi yang masih sama sejak aku meninggalkannya setelah dia selesai salat. Pakaiannya masih lengkap, plus dengan kerudung instannya.
Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku dan berwudu. Setelah selesai, aku langsung duduk di depan meja belajar dan aku nyalakan lampu kecil yang ada di atas meja. Kubuka kitabku dan mulai membacanya dengan sangat pelan. Sepertinya aku akan tidur di kursi, bukan di kasur. Jarum jam berputar seiring waktu, kantuk sudah sangat menggerogoti mataku. Akhirnya aku tertidur dengan pipi menempel di meja.
***
"Mas." Terdengar sayup suara lembut itu bagai mimpi yang mendayu.
Aku tersadar dan terbangun dari tidurku. Ternyata bukan mimpi, melainkan suara Ning yang sedang memanggilku dari atas kasur. Aku mengusap sudut mataku lalu menilik ke arah jam tangan yang telah menunjukkan pukul empat pagi. Kamar yang tadinya gelap kini telah bercaha terang. "Ning," ucapku.
"Mas, tahajud yuk!" ajaknya.
Aku bangkit dan mengiyakan. Aku pun bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Kami salat tahajud berdua, Ning salat sembari duduk di kursi rodanya. Selesai salat tahajud, Ning Zahra mempertanyakan kepadaku tentang mengapa aku tidur di meja belajar bukan di kasur. Aku terpaksa berbohong jika aku tadi malam tidak sengaja ketiduran di meja belajar. Sekarang, aku teramat sering berbohong. Kebohongan itu ibarat sebuah rantai, satu kebohongan yang kita ciptakan akan membuat kita melakukan kebohongan yang lainnya. Apa yang bisa kuperbuat, jika aku jujur pada Ning sekarang, bisa saja akan menimbulkan sebuah masalah yang sangat besar.
Azan subuh telah menggema, kali ini aku tidak salat di masjid bersama para santri dan Kiayi karena Ning masih belum sehat total. Badannya masih lemas tidak begitu berdaya, aku salat subuh bedua dengannya di dalam kamar kami.
Ning sangat menghormatiku sebagai suaminya, dari cara dia berbicara serta perlakuannya yang dia tujukan kepadaku. Meskipun dalam keadaan tidak sehat dia tetap berusaha untuk mempersiapkan keperluanku.
"Ning, tak perlu repot-repot. Antunna kan lagi sakit, sebaiknya antunna istirahat saja!" ujarku.
"Mas, bagimanapun ana harus memenuhi kewajiban ana sebagai seorang istri. Lagian cuman nyiapin pakaian gini kan ga berat."
"Ga berat sih ga berat, cuman perlu banyak gerak. Sudah, biar ana saja yang siapin semuanya."
Seperti halnya seorang istri, Ning sangat serius menjalankan tugasnya. Sedangkan aku, hanya menjalankan tugasku sebagai khodam Kiayi yang ditugaskan untuk menjaga putrinya, bukan sebagi seorang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Teen FictionUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...