Melepas Rindu

20 3 0
                                    


Kobaran ujung gamis syar’i terhempaskan oleh angin. Aku perlahan mendorong kursi-roda dari belakang punggung Ning Zahra, istriku. Hari ini, Kiayi dan Ning sudah boleh kembali pulang ke pesantren. Kami disambut para santri yang sudah berjejer takdzim dari gerbang masuk sampai rumah kiayi.

“Abim, bawa Ning langsung ke kamar saja ya! Dia masih perlu beristirahat!” pinta Gus Adnan lembut. “Obat Ning ada di dalam tasnya,” sambung Gus Adnan sebelum beranjak dari hadapan kami.

Aku mengangguk pelan. Debar di dada bergejolak cepat. Di kamar, berduaan? Aku tidak pandai bercakap-cakap dengan perempuan kecuali dengan Aulia, kekasihku.

‘Aulia? Bagaimana keadaannya sekarang, bagaimana aku bisa memberitahukannya tentang pernikahanku ini?’ gumamku yang membuat langkahku terhenti di depan pintu.

“Ehem.” Ning berdehem pelan. Aku terkesiap lalu melanjutkan langkahku masuk ke kamar.
Gawai pintu kamar sudah berbunyi ceklek, pertanda pintu sudah siap terbuka. Perlahan aku membuka pintu lalu kembali mendorong kursi roda milik Ning Zahra.

“Ustaz, Mas. Emmm..” Ning Zahra nampak bingung untuk menyebut namaku, suaminya.

“Mas aja, Ning.” Aku merespon cepat.

Ning mengangguk, dia ragu untuk menatapku. Kutahu, karna tidak terbiasa menatap lawan jenis yang bukan mahramnya pasti dia malu-malu untuk menatap kepadaku, suaminya. Aku sudah mempersiapkan tempat tidur yang nyaman dan bersih untuk Ning Zahra. Gus pernah mengatakan kepadaku, Ning Zahra sangat suka dengan warna putih dan bersih, bunga kesukaannya adalah bunga mawar berwarna putih. Ning juga suka keheningan dan suara lantunan tilawatil-qur’an.

Sprai putih serta sarung bantalnya dan juga horden telah sesuai dengan kesukaan Ning Zahra, warna putih tanpa noda dengan hiasan bunga mawar putih yang tidak begitu meriah.

“Mas, siapa yang menata kamar?”

“Ana, Ning,” jawabku.

Ning Zahra tersenyum lembut, disentuhnya lembut sprai lalu mendilikkan netranya pada sekeliling kamar. Dia memejamkan netranya lalu menghirup aroma pengharum ruangan yang baru saja kuisi ulang dengan aroma bunga kasturi yang baru kubawa dari Mesir, oleh-olehku dari sana.

“Putih dan wangi.”

“Ning suka?” tanyaku memastikan.

Gus memintaku untuk selalu menyenangkan Ning Zahra. Sehingga aku harus mencari tahu apa saja kesukaan Ning dan apa saja yang dibenci olehnya.

Kemarin, saat aku duduk bersama Gus Adnan.
Gus Adnan nampak sendu, matanya sembab sembari menggenggam ponsel genggamnya dia tersenyum padaku lalu dengan cepat memelukku dan menepuk pundakku.

“Syukron katsir, Abim.” Berulang kali ucapan terimakasih terlintas dari mulutnya. Aku hanya bisa diam dan mengangguk.

“Syukron, Abim. Besok! Abah sama Zahra sudah boleh pulang ke pesantren. Ana tidak tahu lagi bagaimana caranya ana membalas jasa antum pada keluarga kami.” Binar manik mata Gus berkaca-kaca, sangat tulus lidahnya melontarkan semua kata-kata terimakasihnya.

“Alhamdulillah, Gus. Ana tidak punya jasa apapun. Justru, ana yang harus berterima kasih pada antum, pada kiayi dan pesantren. Ana tidak akan pernah sanggup membalas jasa kalian.”

“Suka, Mas.”

“Alhamdulillah.”

“Syukron, Mas.”

Terasa begitu kaku antara kami berdua, aku membantu Ning untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Meski sulit agar tidak tersentuh dengan kulitnya, namun Ning Zahra paham akan kerisihanku ini. Aku mengambilkan bubur yang telah dibuatkan oleh santriwati bagian ndalem pondok untuk Ning Zahra.

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang