Kitab tersusun rapi pada almari, aku meraih beberapa kitab yang menjadi jadwal pada pembelajaran masyaikh hari ini.
Baru saja kaki akan melangkah untuk beranjak pergi, mataku sempat menilik pada buku catatan yang tergeletak di atas meja. Hampir saja terlupa akan janjiku pada diri sendiri yang mana aku harus membawa buku catatan itu kemanapun aku pergi. Sudah beberapa bulan di sini, buku catatan ini masih kosong tanpa coretan pena yang terukir di setiap lembarnya.
Pikirku, kita tidak akan pernah tahu kejadian apa saja yang akan kita temui pada satu jam , dua jam atau bahkan satu detik ke depan. Bisa saja ada kejadian yang tidak terduga nantinya.
“Aulia, dengan adanya buku catatan ini Abim pastikan tak akan ada yang dapat memalingkan pandangan cinta Abim dari Aulia.”
Aku bergegas melanjutkan langkah. Kudengar, beberapa menit yang lalu Agam telah melenggangkan kakinya meninggalkan asrama. Dia adalah mahasiswa yang sangat disiplin dengan waktu, waktu berangkatnya tak pernah melesat setiap harinya.
Iklim hari ini menyengat kulit, tak pernah lupa aku memakai kacamata hitam dan topi serta jaket untuk mengurangi rasa panas yang menyengat kulit ini. Perjalanan ke universitas memerlukan transportasi umum yakni bus yang sudah berulang kali aku naiki.
Suasana seperti biasanya, seraya berdiri yang mana tanganku pada handle agar tak bergerak ke sembarang arah. Sebelah tangan lagi tempat bertengger kitab yang sedang aku baca untuk mengisi waktu selama perjalanan.
“Assalamu’alaiku Ya akhi, antum Al-Azhar?” tanya seseorang dengan berbahasa arab amiyah.
Aku yang tadinya sibuk membaca kini menatap pada sumber suara. “Wa’alaikumussalam, na’am,” jawabku seraya memperlihatkan kartu namaku.
“Ma syaa Allah, dari mana?”
“Indonesia.”
Tangannya yang berukuran dua kali lipat besarnya dari tanganku itu menepuk pundakku. “Ma syaa Allah. Mari minum say bersama!” ajaknya. Say adalah teh, sudah menjadi kebiasaan orang Mesir meminum teh kurang lebih mencapai belasan kali dalam sehari.
“Syukron katsiron. Jika ada waktu senggang.”
“Na'am, na’am. Beritahu ana jika antum ada waktu.”
Aku manggut-manggut. Bus pun berhenti, sudah saatnya aku beranjak pergi. Suasana belajar di sini memang jauh berbeda dengan suasana belajar waktu di pesantren, ujiannya pun berbeda di setiap harinya. Tak kusangka aku sebetah ini di sini, ku kira akan sulit menjalaninya dalam waktu yang lama nyatanya baru beberapa bulan saja aku sudah mulai terbiasa.
Sebelum masuk waktu zuhur, aku berangkat menuju masjid. Air wudhu membasahi setiap anggota wudhu, melenyapkan beberapa persen rasa panasnya setelah terdengar oleh cahaya matahari. Setelah salat zuhur, aku harus menemui syaikh untuk menyetorkan hafalan Al-qur'anku. Entah mengapa beberapa waktu ini rasanya hadapanku terasa berat, banyak ayat yang tidak sempurna aku ingat. Padahal, sebelumnya aku tak pernah seperti ini.
“Assalamu'alaikum,” sapa seseorang padaku yang sedang melamun seraya memegangi Al-qur'an.
Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya. “Walaikumussalam, Agam.”
“Afwan kalau ana mengganggu. Nanti ke tempat syaikh bareng ya, ana mau setoran juga hari ini.”
“Siap, siap.”
Tak lama setelahnya, azan zuhur menggema. Setiap shaf dirapikan tanpa ada celah bagi setan ikut membersamai jamah salat zuhur hari ini. Setelah selesai shalat, aku dan Agam pun bersiap untuk pergi ke tempat syaikh yang tak lain untuk menyetorkan hafalan kami. Seraya di dalam taksi, aku masih berusaha mengingat hafalanku yang sampai saat ini belum lancar jua.
“Afwan, Akhi Abim.” Agam memotong hafalanku saat aku mendapati wakaf pada ayat yang sedang aku ulang-ulangi sedari tadi.
“Na'am. Ada apa?” Aku menutup mushafku.
“Afwan sebelumnya. Ana tiada maksud apapun, mohon jangan tersinggung.” Agam menatapku.
Aku mengangguk dan menunggu Agam melanjutkan ucapannya.
“Begini, kalau ana perhatikan beberapa hari ini antum sepertinya ada kesulitan dalam ngafal, kalau boleh tau antum lagi ada masalah atau bagaimana?”
Aku terdiam sejenak. Masalah? Apakah benar aku sedang menghadapi sebuah masalah sehingga mengganggu hafalanku.
“Entahlah, Gam. Ana juga bingung, ana ngerasa beberapa hari ini itu ngafalnya berat banget. Ngafalnya lambat, hilangnya cepet.”
Agam menepuk bahuku. “Yang sabar, Bim. Ana juga sering di posisi antum, apalagi kalau ana lagi rindu sama ummi di Indonesia. Mungkin sekarang antum juga sedang merindukan seseorang, coba nanti waktu istirahat di asrama antum telepon barangkali bisa mengobati kerinduan dan bisa ngafal dengan lancar lagi.”
Aku setuju dengan Agam, apa yang dia katakan itu benar. Tentu saja, dia sudah sangat jauh berpengalaman tentang hal ini dibandingkan aku. Tapi, aku sedang merindukan siapa, ummi ataukah Aulia? Kalau boleh jujur, bayanganku selalu tertuju pada Aulia yang sangat jauh di sana. Tak jarang dia juga hadir di mimpiku. Namun, satu hal yang aku bingungkan, mengapa setiap kali aku memikirkan Aulia atau bahkan memimpikannya rasanya aku semakin susah dalam menghafal.
Ah, mungkin karena terlalu rindu, Agam benar. Aku harus menelponnya nanti waktu di asrama.
Seperti sebelum-sebelumnya. Agam dengan mudah menyetorkan hafalannya di hadapan syaikh, aku mulai ragu dengan setoranku. Sepertinya akan sulit dan tak lulus kali ini.
Aku mulai melafalkan hafalanku di depan syaikh, satu ayat berlaku dengan lancar, hingga masuk ayat kedua yang membuatku gentar. Lupa, apalagi yang harus aku baca setelahnya?
Syaikh memintaku untuk kembali duduk di tempat semula, artinya aku harus mengulanginya. Ah, benar saja. Aku gagal kali ini. Ternyata begini rasanya tak lolos ya, menyakitkan dan sangat mengkhianati perjuangan. Apa boleh buat, aku juga manusia yang tak sempurna.
Aku teringat pada ucapan Kiayi waktu di pesantren. Yang mana Kiayi menceritakan bagaimana waktu imam syafi'i mengadukan keburukan hafalan beliau pada guru beliau dan guru beliau memberikan nasihat untuk meninggalkan maksiat. Imam syafi'i adalah ulama besar dan keilmuan beliau bukan main-main, namun beliau juga manusia.
Maksiat apa yang aku lakukan hingga seperti ini. Sangat sulit untuk mengingat kalam yang mulia. Merenungi ahwal diri sangat dibutuhkan. Kalam yang mulia sangatlah suci, tidak bisa bercampur dengan kotornya kemaksiatan yang ada pada diri.
Sesampainya di asrama, aku langsung mandi untuk menyegarkan badan. Tak lupa jua membenamkan diri sejenak di atas ranjang dengan mata yang terbuka. Mataku menatap atap, entah apa yang sedang berkabut di kepala namun aku hanya ingin diam sejenak saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Teen FictionUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...