"Abim, bisa tolong bantu ana!" ucap Gus Adnan padaku.
Aku gegas mendatangi. Gus Adnan tengah sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil yang sedari tadi parkir di depan rumah kiayi.
"Nggih, Gus. Sini biar ana yang bawa." Aku menawarkan diri.
"Tolong bawa ke kamar samping piala ya!" titah Gus yang masih sibuk mengeluarkan beberapa barang yang tidak begitu besar dari dalam mobil.
Aku gegas membawa koper itu ke kamar yang dekat dengan lemari piala. Setelahnya, aku kembali mendatangi Gus Adnan yang masih di luar.
"Oh iya, Bim. Antum bisa panggilin dua santriwati ndak buat bantu ngemas kamar itu."
"Kalau boleh tahu, siapa yang datang Gus?" tanyaku memberanikan diri.
Gus tersenyum kepadaku. "Anu, dokter Aulia nginap di sini. Katanya Zahra perlu perawatan tiap hari biar lebih cepat proses penyembuhannya."
Aku terenyuh. "Dokter siapa tadi, Gus. Afwan!" Mungkin saja aku salah dengar.
"Dokter Aulia, itu yang tadi datang ke sini. Kenapa, antum kenal?"
Aulia?
"Oh, ndak gus. Ana ndak kenal. Kalau gitu ana izin manggil Maimunah sama Sarah dulu buat bantu-bantu." Aku gegas pergi, debar di dada ini berbeda. Ketakutan mulai menghantui, apakah hanya kesamaan nama saja.
Ting... Sebuah pesan masuk.
Aku merogoh saku bajuku, sebuah pesan telah masuk di notifikasi aplikasi hijauku.
(Abim, mulai sekarang kita bisa ketemu tiap hari deh. Oh iya, suprise dari aku itu adalah.... Aku akan tinggal di rumah Zahra pasien aku, ternyata dia anak pemilik pondok tempat kamu belajar loh. Kebetulan banget ya, mungkin ini sudah takdir agar kita bertemu. Gimana, kamu pasti seneng kan, denger suprise dari aku?)
Badanku rasanya luruh lantah tak berdaya. Ya Allah, apa yang harus Hamba lakukan? Sekarang sudah terlambat memberitahu Aulia tentang pernikahanku dengan Ning Zahra. Dalam hitungan menit, Aulia akan mengetahuinya.
Setelah memanggil Maimunah dan Sarah yang memang biasa ke rumah kiayi, aku gegas menuju ruangan asatiz untuk menemui Arka.
"Abim, tumben ke sini." Arka tengah sibuk dengan beberapa lembar kertas. Tiba-tiba zakki datang dengan nampan yang berisi dua cangkir kopi.
"Ma syaa Allah. Pas sekali antum juga di sini ustaz Abim." Zakki menaruh secangkir kopi di hadapanku dan secangkir lagi di hadapan Arka.
"Syukron, Zakki," ucap Arka.
"Ana harus gimana? Matilah ana..." Aku menarik keras peci hitamku dari kepala. Duduk lesehan sembari menaikkan sebelah lututku.
Aku telah kehabisan tenaga dan pikiran. Betapa porak-porandanya hidupku kala ini jua.
"Ada apa, Bim? Kayak muka kelilit hutang aja." Arka turun dari kursinya, dia ikut duduk lesehan di lantai bersamaku yang disusul oleh Zakki.
"GAWAT!!! Ini keadaannya sangat darurat!" Aku menekankan suaraku.
"Apanya yang gawat, ceritakan sama kami!" Arka menatapku dan Zakki mengangguk atas ucapan Arka yang mewakili dirinya.
"Matilah ana. Apa kalian tahu kalau Aulia akan tinggal di rumah kiayi mulai hari ini."
Bug... Bagai meriam yang menembak secara bertubi-tubi.
"Apa, gimana bisa gitu ceritanya?" Zakki kaget bukan main, sama halnya dengan Arka dan juga aku tentunya.
Aku pun menjelaskan secara detil kejadiannya. Semua kejadian yang aku tangkap dari semua cerita Aulia hingga hari ini.
"Astagfirullah. Beneran mati antum, Bim." Arka mendukung kecemasanku.
"Antum ini, bukannya carikan kawan jalan keluar!" Aku mendengkus kasar.
"Iya, maaf."
"Aulia belum tahu tentang pernikahan kalian?" tanya Zakki menyela.
Langsung saja kepalaku menggeleng lesu.
"Gini aja, Bim. Sebaiknya antum chat Aulia sekarang, bilang semuanya ke dia. Daripada kan nanti dia tahunya dari orang lain, bisa-bisa dia nggak mau lagi dengerin penjelasan dari antum." Zakki memberi usulan.
Aku terdiam sejenak. Mencoba menelan usulan yang Zakki berikan. "Antum benar, Zakki. Tapi, masalahnya gimana caranya?... Juga, apakah Aulia akan tetap mau berhubungan dengan ana atau dia malah ngejauh."
Arka menepuk pundakku.
"Bim, antum tenang saja. Ana kan sudah janji akan bantuin antum untuk hal ini. Ana yakin, jika kita jelaskan pada Aulia dengan jelas dan baik, in syaa Allah Aulia akan mengerti dan memahami masalah antum."
***
Setelah berbincang hangat dengan Arka dan Zakki, aku memutuskan pulang ke rumah kiayi di malam hari. Saat aku baru saja memasuki rumah, hal pertama yang aku lihat adalah kamar di samping lemari piala. Pintu yang terkunci dari dalam, menandakan jika orangnya sudah berada di dalam.
Aulia, tolong percayalah pada Abim! Kalau bukan karena takdir, Abim tak akan mungkin mengecewakan Aulia seperti ini.
Ingin rasanya kakiku melangkah menuju kamar itu, membisikkan segala keluh kesah yang sangat mendayu. Menjelaskan panjang lebar apa yang telah terjadi padanya, ketakutan yang bercampur aduk ini sungguh mencegahku untuk mengatakan segalanya.
Satu kalimat.... Aku takut kehilanganmu, Aulia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Ficção AdolescenteUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...