Kejutan Tak Terduga

27 3 0
                                    

‘Abim, hari ini Aulia punya kejutan buat Abim.’ Suara Aulia terdengar lembut di balik panggilan telpon. Aku tak hentinya mengulum senyum, bunga mawar yang tadi aku petik dari belakang dapur perlahan kelopaknya satu per-satu ku cabut tanpa sadar. Kegemaranku, pelipur lara dan pembawa semangat hidupku sudah dari dua belas menit tadi ia tak berhenti berbicara.

‘Kejutan apa, Aulia? Abim jadi penasaran.’

‘Ya, namanya juga kejutan. Masa Aulia kasih tahu sih, itu bukan kejutan namanya.’

Aku sibuk menata makanan untuk para santri siang ini, bukan sepenuhnya menjadi tugasku, namun aku hanya mencari kesibukan di sela waktuku yang sedang free dari mengajar ini. Hari ini aku merasa gembira karena baru saja kudengar berita baik dari sahabatku di Mesir, Zein telah melangsungkan akadnya kemarin. Kudengar suara gembira menghias bibirnya, tidak seperti yang kuduga ternyata Zein benar-benar serius menikahi perempuan yang baru pertama kali dilihatnya itu. Bisa ya, cinta datang setiba-tiba itu? Arghhh, isi kepalaku sedang tak mampu untuk menampung pertanyaan itu.

“Ustaz Abim. Antum dipanggil Kiayi ke rumah.” Seorang santri mendatangiku dan memberikan kabar itu. Aku segera melepas pekerjaan dapur dan bergegas pergi memenuhi panggilan kiayi. “Syukron, akh.” Aku melengos pergi dari hadapannya.

Aku melewati salah satu mobil yang terparkir tepat di depan rumah kiayi, mobil berwarna tosca itu terparkir tanpa ada siapa pun di dalamnya, mungkin kiayi kedatangan tamu. “Tunggu, kok kayak pernah lihat nih mobil. Tapi di mana ya?” pikirku. Kurasa tidak lebih penting memikirkan hal itu ketimbang secepatnya memenuhi panggilan kiayi.

Kuucapkan salam dengan nada yang sedang, di dalam seperti ada suara orang-orang yang sedang berbincang.

“Walaikumussalam,” jawaban dari dalam.

Aku melihat kiayi yang sedang tersenyum padaku, aku mendatangi beliau dan segera mengecup punggung tangannya. “Kiayi manggil ana?” tanyaku. Nyai sedang berbincang dengan seseorang yang duduk bersama dengan kiayi di ruangan tamu ini.

“Iya, Nak. Itu, dokter yang biasa ngerawat Zahra dateng buat meriksa Zahra.” Kiayi memberitahu.

Aku mengangguk saja. “Ning ndak kenapa-napa kan Kiayi?” tanyaku memastikan keadaan.

“Ndak, Zahra sehat. Tapi, hari ini sudah jadwal Zahra periksa. Biasanya begini, kalau Zahra ndak bisa mendatangi dokternya maka dokter yang akan datang ke mari.” Kiayi menjelaskan.

“Abah, sudah dong ngomongnya sama Abim. Biarkan dia datengin istrinya.” Nyai menyela ucapan kiayi.

“Iya, Mi. Sudah, Bim atum ke kamar sekarang! Di sana sudah ada Adnan.”

“Nggih kiayi. Assalamu'alaikum.”

Aku melenggang pergi, menuju kamar yang berada di bagian inti rumah ini. Terdengar suara Gus Adnan yang sedang berbincang, juga ditambah dengan suara Ning Zahra. Aku melangkahkan kaki pasti, kuhampiri pintu yang setengah terbuka itu.

Tok...tok..tok...

“Assalamu'alaikum..”

Deg...
Punggung seorang perempuan nampak terbalut sempurna oleh pakaian panjang. Degup di dadaku terasa sangat berat. Belum sempat ia menoleh karena sibuk menancapkan jarum suntik pada Ning, istriku. Aku bersegera membalikkan badan.

“Walaikumussalam, Mas...” Panggil Ning, aku sudah tak mampu untuk kembali.

Suara gesekan kaki dengan lantai terdengar mendekat ke arahku, aku tak berani berbalik badan, hanya terus berjalan fokus ke depan.... Sebuah tangan kekar memegangi pundakku. “Bim, kenapa ndak jadi masuk ke kamar?” tanyanya. Suaranya yang ngebas itu tak lain adalah milik Gus Adnan.

Aku pun memutar badan, berusaha mengolah ekspresi baik dengan hati yang sangat kacau tak karuan ini. Apakah perempuan itu sudah berkata sesuatu hal tentangku dan dia? Batinku seakan bertanya-tanya.

“Gus, anu.. Ana lupa sesuatu di matbakh (dapur), ana lupa matiin kompor.” Aku berusaha mencari celah.

“Ke kamar antum dulu, dokter yang biasa rawat Zahra datang.”

“I-iya, gus. Ana tahu, cuman ini bener-bener urgent, gimana kalau terjadi kebakaran?” tanyaku berusaha mengelak.

“Sudah, antum tenang saja. Biar ana telpon Zakki buat matiin kompornya.” Gus Adnan pun merogoh saku baju kokonya dan mengeluarkan ponselnya.

Aku harus gimana? Apa lagi yang harus aku lakukan untuk mengelak masuk ke kamar. Kau tahu siapa yang merawat Ning? Arghhh, mengapa aku tak pernah terpikir akan hal ini. Mengapa bisa harus dia yang jadi? Aulia... Apakah Ning Zahra pasien yang selalu kamu ceritakan padaku itu?

Aulia memang sering cerita menyoal pasien-pasiennya, ia selalu merasa senang jika bertemu dengan semua pasiennya. Ada satu pasien yang selalu tidak lupa ia sebut jika bercerita hari indahnya padaku, yaps seorang perempuan cantik, katanya. Dia baik dan juga lembut. Mengapa aku tidak pernah peka akan pasien yang diceritakannya itu.

Flash back moment.
Aku dan Aulia asyik berbincang di balik panggilan telepon. Ia terdengar sangat girang dan senang.
‘Abim, Abim tahu nggak kalau Aulia sekarang punya satu pasien yang baik banget, cantik lagi. Kayak dia itu seperti bidadari  yang turun dari langit ke bumi, Aulia yang cewek aja kadang sering terkesima akan kelembutannya, keindahan tutur katanya, juga pasti kecantikannya. Oh iya, dia anak kiayi loh, Abim. Ada ya orang sesempurna itu, cantik, salehah, baik.'

Aku tertawa di ujung telponku. ‘Aulia, emang ada bidadari di muka bumi ini selain kamu?’

Hening, namun ada sedikit suara jeritan kecil di ujung telepon. Aulia pasti salting sendiri.

‘Aaa, Abim bisa aja. Oh iya, Abim. Doakan Aulia ya, semoga Aulia bisa merawat pasien Aulia ini sampai dia sembuh total. Ini akan menjadi pencapaian besar awal Aulia jika berhasil.’

‘Aamiin...’

,
“Sudah, Bim. Kata Zakki, ndak ada kompor yang masih nyala. Ayok, kita ke kamar!” Gus Adnan telah merangkulnya, aku tak bisa lagi untuk menolaknya. Langkah kakiku terasa berat, berusaha kutolak semua pikiran yang keliru ini. ‘Bukan... Itu bukan Aulia, cuman mirip aja dari belakang,’ tepisku.

Sampailah kami di depan kamar Ning Zahra yang juga sekarang menjadi kamarku. Kuedarkan pandanganku ke seantero kamar, namun tak lagi kutemukan sosok darinya.
“Dek, di mana dokternya?” tanya Gus Adnan yang juga mencari keberadaan perempuan yang kuyakini adalah Aulia itu.

“Sudah pergi, Bang. Katanya, dia juga sekalian jenguk keluarganya yang ada di pondok ini “

“Oh,  jadi dia punya keluarga di sini?”

“Katanya gitu, Bang.”

Ning Zahra menatap ke arahku, aku mendesah lega karena tak sempat bertemu dengan orang itu. Semoga saja benar, ia bukan Auliaku.

“Mas,” panggil Ning Zahra padaku yang sedang melamun. Aku terkesiap segera, menyadari akan panggilan dari ning itu. Gus Adnan menatap sekilas ke arahku sembari tersenyum, kemudian ia menepuk pundakku dan berlalu keluar dari kamar kami.

“Iya, Ning. Ada apa?” Aku pun masuk ke dalam kamar, mendekat pada Ning Zahra.
“Mas, kenapa tadi tiba-tiba keluar?” tanya Ning Zahra memelan, nada bicaranya terdengar berbeda, senyumnya juga tak tergambar seperti biasa.

“Tadi, anu.  Ana lupa matikan kompor di dapur pondok, Ning. Baru inget pas di depan kamar, jadi mau balik ke dapur buru-buru.”

Ning Zahra nampak mengangguk saja mendengar jawabanku itu. Sepertinya ia tak seperti biasa, ada apa? Kok tiba-tiba? Sebelumnya, ketika ada gus dia masih sama seperti hari-harinya.

“Ning kenapa?” tanyaku penasaran.

“Ndak kenapa-napa, Mas. Ana cuman ngerasa capek aja.” Ia berusaha mengukir senyumnya.

“Istirahat ya, Ning.”

Ning hanya mengangguk dan merebahkan tubuhnya, memunggungiku. Aku menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya. Dia pasti kelelahan karena terlalu banyak bergerak.

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang