Sudah kian hari kulihat Mas Abim tidak bermalam di kamar ini, katanya dia sedang sangat sibuk di kantornya. Ha, tak apa meski kutahu perkataan dan hatinya itu berbeda.
Hai, aku Zahra, perempuan lemah yang dahulunya punya segudang cita-cita. Namun, setelah satu kejadian saat itu telah merenggut segalanya dariku. Hariku yang penuh dengan canda tawa berubah menjadi kesedihan dan ketakutan sepanjang masa.
Sekarang, aku masih berusaha untuk tetap hidup dibantu dengan puluhan bahkan ratusan pil obat yang menunjangku. Ditambah lagi support dari orang-orang yang ada di sekitarku, terimakasih semua. Satu hal lagi yang benar-benar membuat gairah hidupku kembali bangkit, tepatnya beberapa tahun yang lalu. Kalian pasti sudah baca part pertama dari cerita ini. Biar kupertegas lagi.
Waktu itu, aku sedang berjalan menyusuri pondok karena aku baru saja kembali dari luar negeri mengemban ilmu.
Disaat aku lengah, tiba-tiba sebuah kertas cinta menghampiriku. Perlahan kubuka, ternyata sebuah bait al-fiyyah yang tertulis di sana.
Aku tak berharap itu ditulis untukku, namun entah mengapa saat membaca tulisan tinta berbentuk cinta dengan inisial A di pojok kertas itu membuat jantungku berdegup kencang, darahku mengalir deras. Itulah kali pertama aku merasakan yang namanya jatuh cinta.
Kucoba mencari tahu siapa yang telah menulis bait indah itu, hingga akhirnya aku menemukannya. Abim, salah satu santri kesayangan abah. Dia cerdas, dan suaranya indah.
Berulang kali kucoba meyakinkan diriku jika dia tak pernah menaruh rasa padaku, tapi entah mengapa setiap rasa ragu itu menderu Allah selalu saja mempertemukan kami tanpa sengaja. Aku tak bisa mengungkiri rasa, hatiku benar-benar telah terpaut padanya.
Bertahun lamanya, ia menjadi alasan hidupku bahagia. Hingga saat itu dia pergi jauh. Doaku selalu menyertainya.
Namun, ada suatu kejadian yang membuatku benar-benar merasakan pedihnya luka di dada.
"Perkenalkan, saya Aulia yang akan menemani anda terapi sampai sembuh."
Dia perempuan yang sangat cantik, matanya indah dan bibirnya merah muda. Aku yang perempuan saja terpana melihat teduh wajahnya.
"Saya Zahra, terimakasih dok."
"Panggil nama saja! Biar lebih akrab." Ia tersenyum sangat manis.
"Baik Aulia," ucapku.
Berhari-hari aku bersamanya, hingga suatu ketika....
Kringg, suara dering ponslenya berbunyi. Berulang kali ia matikan karena ia menghargai pasiennya, aku.
"Tidak apa, Aulia. Angkat saja dulu. Siapa tahu penting," usulku.
"Makasih Zahra," gegas ia menelpon kembali.
...
Setelah selesai, ia pun senyum-senyum sendiri. Nampaknya hatinya sedang berbunga-bunga.
"Ehem, sepertinya lagi bahagia nih. Hayoo, siapa yang nelpon." Aku dengannya sudah sangat akrab karena begitu sering bertemu dan ia juga seperti adik bagiku meski usia kami terpaut tidak begitu jauh. Dia adalah sosok yang periang dan senang bercerita. Tentunya untuk menghiburku setiap kali kami bertemu.
"Zahra, aku boleh nanya nggak?" ucapnya dengan serius.
"Tentu saja, silakan!' jawabku.
"Zahra kan hidup di lingkungan pesantren nih. Menurut kakak, janji anak pesantren itu gimana? Serius nggak sih, apa mereka juga bisa khianat?" tanyanya dengan penuh harapan.
Aku tersenyum seutas, kuraih tangannya yang putih bersih itu. Perlahan kutatap manik mata indahnya. Karena sejatinya, wanita jika diajak bicara harus ditatap matanya, apalagi mengenai hal yang serius begini.
"In syaa Allah, siapapun itu jika ia dekat dengan Tuhannya. Entah itu mau santri, mahasiswa, pegawai, tukang parkir, penjual mie ayam dan lain-lainnya, kalau mereka dekat dengan Allah pastinya mereka tidak akan mengingkari janji." Aku berusaha memberikan jawaban terbaikku. "Emm, kalau boleh tahu. Memangnya, kamu lagi ada hubungan apa dengan anak pesantren?"
Ia tersenyum malu. "Biasalah, Zahra. Jadi gini. Aku udah lama banget deket sama seorang laki-laki, dia juga udah janji sama aku kalau dia akan nikahin aku. Tapi, sekarang dia lagi jauh, di Mesir. Aku takut, di sana pasti banyak cewek cantiknya kan. Aku takut dia malah lupa sama aku." Inilah wanita, jika sudah mendapat tempat bercerita, maka dia akan lupa apa batasan yang ada.
"Pacar kamu?" ucapku ragu.
Ia mengangguk membenarkan. "Emm, tapi kata dia kami nggak pacaran, sih. Cuman kayak punya hubungan saja, saling bertukar kabar, pastinya kami akan menikah saat dia sudah menyelesaikan kuliahnya di Mesir. Tapi, makasih ya, Zahra. Berkat jawaban kamu tadi, aku ngerasa aku makin yakin sama dia. Makasih banget."
Aku tak dapat berkutat. Begitu banyak fenomena yang terjadi di akhir zaman ini. Pacaran? Itu jelas haram hukumnya. Namun, lebih mengerikan jika dilakukan oleh orang yang telah mengemban ilmu agama dengan tinggi. Sekarang, hal semacam itu menjadi lazim di masyarakat muslim, meniru gaya orang luar namun berusaha membalutnya dengan ikatan syar'i, yang telah mutlak haram, tetaplah haram.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis. "Kalau begitu, aku pulang ya, Aulia. Lusa depan in syaa Allah aku dateng lagi."
"Baik, Zahra. Terimakasih, semoga kamu semakin sehat terus ya."
"Aamiin... Assalamu'alaikum."
Sesampainya di rumah, aku hanya diam dan merenung. Apakah aku berdosa karena tidak mengatakan kebenaran dan mencegah kemungkaran? Tapi, aku tidak bisa. Ia Aulia, dia juga bilang padaku jikalau dia masih belajar tentang agama dan itu karena sosok lelaki itu.
Argh, tapi... Selama ini, apakah aku juga berada di jalan yang salah? Mengagumi sosok lelaki yang bukan mahramku. Ya Allah, sesulit ini ujian cinta.
Astagfirullahal'adziim....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Cinta Az-Zahra
Teen FictionUstaz Abim telah menjalin hubungan dengan perempuan cantik bernama Aulia, mereka harus terpisah karna Abim mengemban ilmu di dalam pondok pesantren pimpinan Kiayi Ja'far. Abim adalah santri yang cerdas dan disiplin, sehingga dia mendapatkan beasiswa...