Sebahagia ini

25 1 0
                                    

Baru saja kebahagiaan mulai menyelimuti hati kecilku, bang Adnan juga sudah kembali dari Mesir. Namun, beberapa waktu kemudian abah pingsan lagi, namun tidak langsung dibawa ke rumah sakit. Abah sadarkan diri saat hendak dibawa ke rumah sakit, dan abah menolak. Setelah itu, abah meminta abang Adnan untuk memberitahukan keadaan Abah pada Abim.

Nama itu, nama yang selalu abah banggakan. Abah senang menceritakan tentang Abim padaku, bagaimana ia sejak pertama datang ke pesantren sampai ia menjadi sopir abah.

"Nan, suruh Abim pulang. Abah mau ngomong sama dia." Abah yang telah lemah itu masih berusaha berbicara.

"Sudah, Abah. Adnan sudah telpon dan siapkan pesawat untuk Abim pulang ke sini."

Aku lemah dan lunglai, setiap kali abah sakit aku juga ikut sakit. Ingin rasanya aku berpura-pura kuat di hadapan abah namun apalah daya, aku tidak kuasa.

Semalaman berjaga secara bergantian untu menjaga abah. Aku hanya bisa berdiam diri di dalam kamar, ditemani dengan santriwati yang memang sering diminta untuk menemaniku.

"Ning, sebaiknya Ning tidur sekarang. Kalau Ning tidak tidur, nanti sakitnya kambuh lagi," dengan lembut ia berusaha memerintahku.

Aku pun memberikan anggukan, meski mataku enggan untuk berpejam namun aku tidak ingin menyusahkan mereka yang mejagaku, pasti mereka lelah dan juga perlu beristirahat. Jika aku tetap terjaga, maka mereka pun juga sama.

***

"Abim sudah sampai di bandara, Gus. Ana akan menjemputnya." Terdengar percakapan dari luar. Itu adalah suara Zakki, khodim abah.

Ternyata Abim sudah sampai ke tanah air, sudah kian tahun aku tidak bertemu dengannya, meski kami sama sekali belum bersapa salam sama sekali namun aku sungguh merindukan sosoknya.

Suasana hatiku bercampur aduk, berita keadaan abah semakin memburuk membuatku terpuruk namun berita kedatangan Abim membuatku bisa sedikit tegar menanggapi kesedihan ini.

Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar kamar karena aku sedari semalam hanya berada di dalam kamar ini, ummah melarangku keluar dari kamar dikarenakan banyak santri yang menjaga dan mendoakan abah di rumah ini.

Setelah kian jam berlalu dan aku tidak tahu tentang keributan yang terjadi di luar kamar ini. Apakah Abi sudah berada di sini atau belum, dan bagaimanakah keadaan abah?

Ceklek... Knop pintu berdecit ..

"Ummah, bagaiamana keadaan abah?" tanyaku segera setelah melihat sosok ummah dari sebalik pintu.

"Nak, kita ke rumah sakit sekarang ya!" Ummah tak menjawab pertanyaanku.

"Tapi, Ummah, gimana keadaan Abah? Zahra mau ketemu abah."

"Jangan berhenti mendoakan abah. Abah sudah dibawa ke rumah sakit, Nak."

Badanku kembali luruh, namun ummah berusaha menguatkan. Aku dengan ummah tidak langsung pergi ke rumah sakit karena menunggu jemputan terlebih dahulu. Setelah bang Adnan menelpon menggunakan nomor Abim, baru aku tahu jika Abim sudah sampai dengan selamat ke Indonesia.

Kursi roda ini berputar di lantai keramik rumah sakit, dia sedang berdiri dan tertunduk di sana. Tebakanku tidak mungkin melesat, dia sosok yang selama ini aku rindukan, jantung ini berdetak kian kencang. Namun, kesedihan tetap menjadi pemenangnya.

Bang Adan berusaha menguatkan aku. Tidak berapa lama, Abim yang sama sekali tidak mengangkat kepalanya itu beranjak dari hadapan kami. Entah ke mana ia pergi, namun jelas sekali kesedihan sedang menyelimuti hatinya. Dia tidak berubah, dia masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya.

Tiba-tiba saja kepalaku terasa berat, napasku juga terasa sulit, mataku sudah tak menangkap suasana sekitar lagi hingga akhirnya hanya gelap yang tersisa.

....

Selalu saja begini, setiap kali aku terbangun pastilah sudah berada di hospital bed ini. Namun, betapa aku tidak menyangka saat aku membuka mata, beberapa orang tengah berada di sekelilingku.

Mataku jatuh pada sosok yang sedang tersenyum lebar kepadaku.

"Abah..." Gegas aku bangun.

"Zahra, alhamdulillah kamu sudah siuman. Sekali lagi maafkan abah sudah bikin kamu khawatir."

Aku tak dapat memberikan jawaban, hanya bisa menangis dan menangis saja.

"Tunggu sebentar, Nak masuklah!" ucap Abah.

Aku bertanya-tanya, siapa yang abang persilakan untuk masuk? Kulepaskan pelukanku dari abah dan pintu pun terbuka.

Abim....
Kenapa abah mempersilakannya masuk ke dalam ruangan ini?

"Afwan kiayi, Nyai, Gus, Ning." Ia tunduk dengan takdzim.

"Masuk Bim. Ngobrolah sebentar dengan calon pengantingmu. Setelah ini akad akan dilaksanakan."

Calon pengantin? Abim ingin menikah, pada siapa? Rasanya hatiku teriris sembilu, perih...

"Baik, kiayi." Abim melangkah mendekat.

Seketika yang berada di ruangan ini keluar dari ruang, tertinggal kami bertiga; aku, abah dan juga Abim. Sebelum ummah keluar, ia memegangi pundakku dengan sangat lembut, dan seutas senyuman terlukis di bibirnya.

Kucoba menilik ke seantero ruangan, di mana perempuan yang akan menikah dengan pujaan hatiku ini. Siapa sosok yang sangat beruntung itu?

"Abah, di mana calonnya?" tanyaku.

Kulihat Abim menatap heran padaku, namun abah tersenyum sedari tadi.

"Maaf, Abim. Dia belum tahu." Bukannya menjawab pertanyaanku, abah malah berbicara pada Abim.

"Nggih, kiayi. Ana paham," jawab Abim.

"Mari duduk di sini!" seru abah pada Abim.

Aku masih tidak mengerti, melongo dengan duka yang tertahan di dalam hati.

"Afwan sebelumnya, Ning. Ana tidak menghabarkan hal ini sebelumnya pada antum. Sebenarnya, ana sudah lama menaruh hati pada antum. Namun, ana tidak berani karena ana sadar akan diri ana yang tidak pantas ini untuk antum. Namun, hari ini ana sudah mendapatkan restu dari kiayi untuk meminang antum, sekiranya jika antum setuju dan ridho maka pernikahan akan dilaksanakan sekarang juga. Dan pula sebaliknya, antum boleh senantiasa dengan pilihan atum karena itu adalah hak antum," terangnya tanpa sedikitpun menatap mataku.

Aku mematung, apakah ini hanyalah mimpi yang aku enggan untuk bangun atau memang kenyataan. Aku terdiam cukup lama.

"Zahra, anak abah. Bagaimana? Abim sudah mengutarakan hajatnya. Jawaban terserah padamu, Nak."

"Abah, ini bukan mimpi?" celetukku tanpa sadar.

Abah menggeleng, perlahan kutatap Abim yang sudah mengangkat kepalanya itu.

Bagaikan bunga yang bermekaran, harum nan indah menenangkan jiwa. Dia, lelaki yang telah lama kudamba di dalam doa, dan ia datang tanpa memberikan aba-aba.

Aku antusias mengangguk menerima. Hati yang tadinya diliputi rasa sedih tak berujung kini berubah menjadi kebahagiaan yang tak berujung.

Hingga akad telah mengikat, aku tak hentinya mengucap syukur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang