Al-fatihahku untukmu

50 6 2
                                    

Entah ke mana perginya perempuan itu, setelah masuk ke dalam ia tak kunjung kembali lagi. Aku telah meletakkan semua barang-barang miliknya.

"Tolong tunggu sebentar di sini. Saya akan kembali beberapa menit lagi. Taruh saja barang-barangnya di atas meja itu!" Ucapan perempuan itu beberapa menit yang lalu sebelum meninggalkanku.

Sudah hampir dua puluh lima menit aku di sini. Aku menilik jam tanganku yang telah hampir menunjukkan waktu asar.

"Sudah jam segini. Agam pasti nyariin. Aku, terpaksa aku harus pergi sekarang." Aku pun akhirnya tak menunggunya, bukannya ingin khianat namun hanya saja aku sudah kehabisan waktu, terburu-buru.

"Agam," sapaku setelah memperdapatinya.

"Abim. Antum darimana, ana keliling nyariin antum. Ditelpon juga tidak bisa."

"Afwan, Agam. Tadi ada yang memerlukan bantuan."

"Begitu ternyata, yasudah mari kita ke masjid karena sebentar lagi waktu asar. Setelah salat asar kita langsung pulang."

Aku mengangguk saja. 

***
Perjalanan hari ini cukup menenangkan pikiranku yang tak karuan. Agam memang sahabat yang sangat aku butuhkan. Dia ada untuk membangkitkan, untuk menamparku dengan kata-kata bijaknya, dan dia juga sahabat yang tidak egois.

Aku dan Agam telah kembali ke asrama kami. Setelah selesai mencharger ponselku , aku pun bersigera untuk menghubungi Aulia.

....

Tiada jawaban untuk beberapa kali deretan getar panggilan.

'Assalamu'alaikum, Abim. Maaf. Aulia sedang bertugas.'

'Walaikumussalam, maaf kalau Abim  mengganggu. Baiklah nanti Abim telpon kembali di lain waktu.'

Ada suara perempuan di balik telepon selain dari suara Aulia. Sepertinya aku pernah mendengarnya. Ahh, sudahlah. Tidak penting juga buatku.

Panggilan telepon telah berakhir. Aku meletakkan ponselku ke atas meja. Setelah selesai mengambil wudlu, aku pun siap untuk memurojaah(mengulang) hafalan Al-qur'anku.

Senyap, tenang dan syahdu. Ayat demi ayat telah lolos verifikasi ingatanku. Sejarang terasa lebih mudah daripada sebelumnya.

Tok... Tok... Tok...

Ketukan pintu membuatku terkesiap. Aku pun menutup mushafku dan beranjak untuk membuka pintu.

Pintu terbuka. Menampakkan sosok lelaki berbadan tinggi dan tegap, ia adalah teman satu lingkup asramaku. Ia adalah Zain, warga negara arab saudi.

"Ada apa. Zain?" tanyaku.

"Ada yang nyariin antum di depan." Ia menunjuk ke arah pintu depan.

"Syukron katsir."

Ia pun beranjak pergi meninggalkanku dan aku pun segera menemui orang yang dimaksud oleh Zain itu.

"Rasanya aku tiada mempunya janji dengan siapapun," pikirku seraya berjalan cepat.

Drett...

"Gus Adnan." Tak kusangka, ternyata Gus Adnan masih di sini. Aku mengecup punggung tangan dan telapak tangannya.

"Abim, maaf ana tidak berkabar terlebih dahulu sebelum ke sini. Antum sibuk sekarang?"

"Tidak masalah, Gus. Ana sedang tiada kesibukan. Ada apa, Gus?"

"Jadi begini, in syaa Allah besok ana balik ke Indonesia. Jadi sekarang ana mau ngajak kamu makan di luar, gimana antum bisa?"

"Tentu, Gus. Ana bisa."

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang