Menikah

32 3 0
                                    

Terasa hambar rasanya dunia tanpa hadirnya sosok wanita yang mendampingi pria. Mungkin begitulah bentuk pembelaan diriku yang telah jelas salah ini.
Mengenal dunia, maka akan siap pula hati akan jatuh cinta padanya. Pernak-pernik kemilau yang menarik jiwa untuk bisa memiliki seluruh keindahannya. Nyatanya, tak sepeserpun dari kesenangan yang didapat jiwa, melainkan raga yang lelah mengejarnya.  Wanita adalah salah satu perhiasan terindah yang sangat didambakan oleh laki-laki, apapun akan diusahakan demi mendapatkan perhiasan terindah itu.

Aku berjalan di sudut ruangan kamarku yang berbentuk persegi panjang ini, seraya mengingat tiap goresan khat yang terukir di dalam lembaran kitab yang sedang berusaha aku hafal dan kuasai. Cara mengusir rasa kantuk banyak caranya, salah satunya dengan berjalan mengitari ruangan kamar ini. 

Sengaja hati aku tak mengaktifkan selulerku karena deringnya hanya akan mengganggu titik fokusku pada kitab.
Sudah kian hari aku tak bertukar kabar dengan Aulia, aku ahrus tenang dan lapang karena akan menghadapi ulangan. Tidak terasa, kian tahun berjalan dan pijakan semakin tenggelam ditelan waktu yang tak pernah berhenti. Aku masih sama, hanya saja semakin banyak kitab yang aku pelajari maka semakin nampak pula kejahilanku tentang ilmu agama.

***
“Assalamu’alaikum ya akhi Abi, gimana tadi ulangan fiqih antum?”

“Alhamdulillah, Zein. Ana hanya bisa berusaha semampu ana dan Allah lah yang menentukan segalanya. “

“Ma syaa Allah. Eumm, antum lagi senggang tidak?” tanya Zein padaku.

Aku tengah memegangi kitab nadzhom. “Biasa, mutholaah, Zein. Memangnya kenapa?”
“Mau ikut ana?” tanya Zein.

“Ke mana?” tanyaku.

“Ke suatu tempat, ada yang ingin ana ceritakan.”

“Na’am. Tentu saja. Mari!”

“Alhamdulillah, syukron ya akhi Abi.”

Aku pun naik ke boncengan motor Zain. Zain adalah orang yang cukup beruang. Fasilitas, ia yang paling berpunya diantara kami. Namun, orangnya sangat ramah dan baik hati.

Kami sampai di suatu tempat makan yang tidak begitu banyak pengunjung, Zain memesankan makanan untukku dan juga untuknya.

“Tidak perlu, Zain. Ana sudah kenyang.”

“Tidak boleh menolak makanan, Bim.”

“Iya, Bim. Ana mau cerita ke antum dan ana minta saran dari antum. Tapi ana mohon, jangan bilang ke shohib kita yang lain soal ini.”

“Silakan, Zain. Ceritalah! Ana akan menyimaknya, jika ana bisa memberi solusi alhamdulillah, jika ana tidak bisa maka ana minta maaf sama antum.”

“Tak masalah, Bim. Jadi begini, setelah ujian ana akan menikah.”

Aku hampir terperanjat, bukan tanpa alasan. Ini sangat mendadak karena Zain tidak pernah terdengar desus-desus dengan wanita.

“Menikah?”

“Na'am, Bim. Ana akan menikah dengan perempuan berdarah kelahiran Amerika.”

“Amerika? Antum yang bener, Zain?”

Zain tersenyum ke arahku. “Ana yakin, antum pasti akan terkejut mendengar hal ini. Namanya Nara, dia pendatang di Mesir ini. Ia seorang yatim piatu dan diasuh oleh pamannya, seorang pemilik rumah makan yang terkenal di Mesir.”

“Bagaimana bisa antum berkabar secepat ini?”

“Begitulah, Bim. Jodoh, siapa yang tahu. Kemarin aku pergi ke kubu Sultan Salahuddin untuk menyelesaikan buku tulisanku. Tanpa sengaja aku bertemu dengan sosok perempuan, dia sedang kesusahan. Aku pun membantunya dan dia tanpa sengaja terjatuh karena tersandung batu. Aku refleks saja ingin membantunya bangun, tanpa sadar kedua mataku menatap matanya dan juga tentu wajahnya. Ana kalut, Bim. Ana pun memutuskan untuk meminangnya.”

“Apa, hanya karena antum tanpa sengaja berkontak mata. Antum memutuskan untuk meminangnya?” Aku tak habis fikir.

“Benar, tapi antum tahu? Setelah tanpa sengaja ana berkontak mata dengannya, pikiran ana jadi hanya terbayang ia seorang, Bim. Ana juga telah melihat auratnya (rambut) yang terhempaskan oleh angin.”

Aku menutup mataku sejenak. Mencerna bagaimana pola pikir Zain kali ini. Biasanya setiap pola pikirnya itu masuk akal, namun untuk soal wanita kali ini? Aku angkat tangan. Dia akan menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenali dan baru pertama kali bertemu? Mungkin inilah yang disebut fitnah wanita itu sangatlah dasyat.

“Jadi, bagaiama pendapat antum, Bim?”

“Kedua orang tua antum bagaimana? Sudah antum beritahu?”

“Sudah, Bim. Ana juga sudah menjelaskan apa yang terjadi, Mereka merestui apa yang menurut ana benar.”

“Jikalau orang tua antum sudah merestui, tak ada jalan untuk ana memberikan pendapat, Zain. Ana serahkan sama antum, jika antum merasa itu yang paling benar maka ana akan selalu mendukung antum. Tali ana mohon, pikirkan lagi sebaik mungkin.”

“Baik, syukron Bim.”

Berhubung makanan telah di depan mata, kami pun menyantap makanan kami.
“Antum  kalau sudah nikah nanti, masih nyantri ndak?” tanyaku penasaran.

”In syaa Allah, masih Bim.”

“Alhamdulillah.”

“Menuntut ilmu sampai ke liang lahat.”

“Aamiin.”

Setelah selesai makan, kami pun pulang ke asrama. Selama di jalan, kami sibuk membahas isi kitab yang besok hari diulangkan.

Sesampainya di koa, aku mencuci kaki dan tangan kemduian merebahkan badanku di atas kasur. Aku masih kepikiran dengan cerita Zain tadi. Ia akan menikah, dan dengan alasan sesimpel itu bagiku. Apakah dia tidak memikirkan rasa cinta?

(Abim, jika tidak sibuk. Telpon Aulia ya!)

Pesan yang telah masuk satu jam yang lalu. Aku pun memutuskan untuk menghubungi Aulia, karena sudah cuku rasanya aku menyiksa diri dengan rasa kerinduan panjang ini padanya.

Aulia sedang mengenakan kerudung berwarna pink muda, terlihat kontras dengan wajahnya yang putih bersih itu. Sangat cantik dan menawan, betapa beruntungnya aku bisa memilikinya.

'Abim, kenapa liatin Auli kayak gitu?'

Aku tersenyum masih dengan menatapnya seraya berdecak kagum.

Aulia bergegas mengambil cermin dan melihat detil wajahnya.

'Kenapa sih? Ada yang salah ya sama muka Aulia?'

'Tidak ada, Bu dokter sangat cantik hari ini. Mau ke mana?' tanyaku.

Pipinya yang putih pun memerah, dia salah tingkah akibat gombalanku itu. Itulah wanita, sangat menggemaskan.

'Sudah ah, jangan liatin Aulia kayak gitu! Kalau nggak mau berhenti, Aulia matikan saja VC nya.'

'Jangan, jangan. Iya, ini Abim sudah berhenti. Jawab dong, Aulia mau ke mana rapi-rapi?'

Aulia tersneyum manis. 'Hari ini, Aulia harus menemui pasien Aulia di rumah sakit.'

'Ma syaa Allah Bu dokter. Sibuk sekali.'

'Nggak sesibuk Abim jug toh? Abim yang nggak punya waktu buat Aulia.'

'Iya, maaf. Abim lagi ulangan, jadi nggak bisa hubungin Aulia seperti biasanya.'

'Iya, Aulia mengerti. Oh iya, Abim. Pasien Aulia yang ini udah kayak bestie loh sama Aulia. Dia cantik banget, agamis pula. Kalau Abim ketemu dia, pasti Abim suka.'

'Aulia, Abim itu sukanya cuman sama Aulia. Bukan sama yang lain. Sebaik apapun, secantik apapun, secerdas apapun perempuan selain Aulia. Tetap Aulia yang terbaik di muka bumi ini.'

'Cowok mah gitu aja terus. Buktinya nanti pas udah ketemu yang lebih pasti berpindah kelain hati.'

'Eits, jangan samakan Abim sama cowok laiannya. Ini buktinya, buku catatan Abim yang dari akmu aja maish kosong.'

'Beneran masih kosong?'

'Iya, kan Abim sudah bilang. Cuman Aulia yang ada di hati Abim. Nggak akan ada yang lain.'

Entah mengapa, hari ini aku begitu sangat senang melihat Aulia. Mungkin karena rasa rindu, jadi melihatnya adalah obat pelebur kerinduan itu.

Sebening Cinta Az-ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang