Prolog

3K 178 10
                                    

     Renjun bersantai seperti hari-hari biasanya karena ia kuliah hanya setiap sabtu dan minggu. Ia bangun sangat awal untuk mandi air hangat, karena suhu saat ini adalah 21° Celcius.

Keluar dari kamar dan menuruni tangga untuk mengambil air minum. Kalau dipikir-pikir, ia cukup malas untuk mandi, tapi daripada siang nanti semakin malas, lebih baik melakukannya dari awal.

Ia mengambil jus jeruk dari dalam kulkas dan menuangkannya pada gelas.

"Dor!"

"Kak Doyoung bau!" Reflek Renjun kaget.

"Lo kali, bau jus jeruk. Sana mandi." Ucap pria yang tadi sengaja mengejutkan Renjun.

"Ini juga mau mandi lah. Tumben bangun pagi?" Tanya Renjun pada Doyoung, kakak laki-laki pertamanya.

"Sikrit. Anak kecil gak perlu tau." Selesai dengan urusannya di dapur, Doyoung pergi begitu saja meninggalkan Renjun yang setengah kesal.

"Heran, efek bang Jaehyun ke luar kota, sih. Makanya agak sinting gitu." Gumamnya, ia melanjutkan aktivitas meminum jus jeruknya.

"Renjun! Jangan minum es jeruk! Itu buat tamu nanti malam!" Teriakan serak seorang wanita dari lantai atas, membuat Renjun meringis, "Kenapa mama bisa tau? Duyung cepuan."

"Daripada adu highnote, mending gue iyain. Terus mandi." Gumamnya setengah kesal.

Betrothed

     Renjun pamit kepada sang mama. Usai pamit, ia berjalan kaki keluar dari pekarangan rumahnya, dan berjalan kaki hingga beberapa kilometer menuju taman.

Di perjalanan mendekati daerah taman, notifikasi ponsel Renjun berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Maka Renjun membuka pesan itu yang ternyata dari Winwin, kakak keduanya yang saat ini merantau di Jepang.

Ia terlalu asyik bertukar pesan saling bercanda dan rindu. Membuat ia tidak sadar dari arah berlawanan di depan ada orang yang berjalan.

Bruk

Renjun mendongak pada pria tinggi, berpakaian santai, dan wajah tanpa ekspresi, yang ia tabrak itu.

"Eh, maaf ya om, saya gak liat jalan, lagi chattingan." Renjun menunduk sopan.

Sedangkan orang didepannya itu mengangguk, "Ya, lain kali hati-hati ya, dek." Kemudian melenggang pergi.

Renjun mengangguk dengan ucapan orang tadi, ia lanjut berjalan, namun kali ini tidak bermain ponsel.

Entah perasaannya tiba-tiba janggal, dan berfirasat aneh. Renjun berusaha mengingat hal hal yang sudah ia lakukan, namun tidak ada yang janggal.

Tiba-tiba saja, ingatan tentang pernikahan impiannya, lewat di pikiran Renjun.

"Lah? Kenapa tiba-tiba? Apa jodoh gue ada disekitar sini?" Gumam Renjun heran.

Renjun menggeleng, "Gak mungkin. Gue masih muda kok, yakali nikah dalam waktu dekat." Renjun menyimpulkan.

Betrothed

     Donghyuck hari ini memilih cuti, biarkan pekerjaannya dikerjakan sekretarisnya, sekali-kali.

Ia menjalani sarapan bersama keluarganya dengan tenang, namun perbedaannya kali ini Donghyuck ikut sarapan. Karena biasanya Donghyuck memilih makan di kafetaria.

Usai sarapan, sang adik laki-laki, Chenle, pergi meninggalkan ruang makan untuk bersiap-siap berangkat sekolah. Sedangkan Karina, adik perempuannya, masih menghabiskan makanan penutup, ia sudah bersiap ke kampus. Dan Kun, kakak laki-lakinya, ia masih duduk di sana, ia penasaran dengan apa yang akan disampaikan orang tuanya. Mumpung Kun sedang libur bekerja.

"Pakdhe mau ngomongin apa?" Tanya Kun.

Sedangkan Suho, sang ayah, mendongak dan berpikir sejenak. Setelah itu ia bersiap mengatakan sesuatu.

"Jadi begini, Kun, Donghyuck, Karina. Karena sebentar lagi papa pensiun, dan usia papa sudah setengah abad lebih, papa ingin kalian segera menikah, kalian gak kasian papa belum punya cucu sampai sekarang? Kalau belum nemu calonnya, papa yang bakal jodohin kalian." Ucap Suho panjang lebar. Sedangkan Irene dan anak-anaknya mendengar dengan serius.

"Hyuck udah ada calonnya kok, pa. Palingan nikah enam tahun lagi." Ucap Donghyuck santai, dan mendapat tepukan keras di lengannya dari arah samping, Karina.

"Lo pikir enam tahun om Suho gak lumutan?" Ucap Karina malas.

"Om suho om Suho. Saya ayah kalian, minimal panggil saya paduka raja." Ucap Suho, membuat tatapan malas dari anak-anaknya.

"Pakdhe hari ini banyak omong mulu, salah tidur?" Ucap sekaligus tanya Kun.

"Kebiasaan ya, padahal orang orang kaya di luaran sana panggil pake papa, ayah, bahkan daddy. Kalian mah apaan, pakdhe, om, kayak gak punya ayah aja." Balas Suho dengan kesal.

Irene terkekeh, "Memang anak-anak gak bisa ya kalo gak jahilin papanya." Irene tertawa dengan manis.

"Dulu kita bikinnya salah gaya, yang. Ya udah balik lagi ke topik yang papa bicarain, papa mau jodohin Donghyuck dan Kun."

"Lah,"

"Bejir,"

"Yeayy Karina enggak, wleee!" Karina mengejek Donghyuck dan Kun.

"Kamu tahun depan, Rin." Balas Irene, membuat Karina yang tadinya girang kini menjadi tegang.

"Om, apa gak bisa Donghyuck aja yang tahun depan? Hyuck masih sibuk." Tawar Donghyuck.

"Gak bisa, lo gue ketemuin calon lo mingdep ya bro. Kalo Kun, bulan depan aja, oke? Gapapa kan adeknya duluan, Kun?" Suho menatap Kun.

"Gapapa banget lah om, bahkan Kun lima tahun pun boleh." Balas Kun enak.

"Keburu tua lo parji. Sekarang aja udah tua." Balas Karina.

"Maklum, orang tua pada suka gak sadar diri." Donghyuck menimpali.

"Lo juga kadang gak sadir, bang." Balas seseorang yang menuruni tangga, itu Chenle.

Untuk tahun ini, usia Kun 30 tahun, Donghyuck 26 tahun, Karina 19 tahun, Chenle 17 tahun.

Betrothed

     Donghyuck memilih untuk jalan pagi di area sebuah taman yang cukup jauh dari rumahnya. Ia menaiki mobil untuk bisa berjalan-jalan di taman.

Ia berjalan dengan melamun, memikirkan apa yang Om Suho (papanya) bicarakan tentang perjodohan.

Sebenarnya ia tidak masalah, tapi bila calonnya wanita, maka ia takut akan menyakiti hati wanita itu karena Donghyuck menyukai laki-laki. Tapi pastinya Om Suho (papanya) tahu orientasi seksualnya.

Tapi bisa saja kan, Om Suho (papanya) menjodohkannya karena dipaksa temannya yang anaknya memaksa untuk menikah dengan Donghyuck.

Donghyuck sangat pusing, ia berjalan melamun menatap trotoar yang ia gunakan berjalan.

Bruk

"Eh, maaf ya om, saya gak liat jalan, lagi chattingan." Ucap pemuda atau lebih tepatnya pria mungil didepannya. Sementara Donghyuck mengangguk, "Ya, lain kali hati-hati ya, dek." Kemudian ia pergi begitu saja, melanjutkan aktivitas jalan kaki.

Ada perasaan lega di pikiran maupun di batinnya, entah karena apa.

"Gila aja, gue dipanggil om. Tuh anak palingan masih tujuh belas, padahal masih bisa manggil kak atau bang, napa harus om dah? Yaudah si wir, muka tua." Gumam Haechan sepanjang berjalan.

—Why Should We?—
—Bersambung—

Betrothed - HyuckRen [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang