SATU

4.3K 365 20
                                    

01. Rumah Mama

Tahun ini, Jaemin berusia 27 tahun, dan Mark 28. Mereka menikah dua tahun lalu, masih betah berduaan. Belum memiliki niat untuk punya anak. Padahal Jaemin yang belum siap mengurus bayi. Jadilah, tunda saja. Dari pada punya anak tapi belum siap, nanti yang ada anaknya ditelantarin.

Jaemin menggaruk lengannya yang terasa gatal. Dia dan Mark sudah berada di bus yang membawa mereka untuk memasuki kampung halaman Mamanya Jaemin. Hanya ada satu bus yang sampai ke sana, itupun hanya ada di waktu pagi dan sore.

Kalau telat, ya sudah.

"Gatel~"

Na Jaemin itu anak manja, apa-apa hidupnya gampang. Selalu manggil orang tuanya, mentok paling gunain online untuk mempermudah hidupnya. Makanya dia pemalas. Tapi, entah kenapa dia bisa memasak. Mungkin karena dulu dia ambil kelas memasak.

Tapi sekali lagi, bakatnya tidak digunakan dengan baik. Bahkan sejak menikah, Jaemin jarang memasak untuk Mark. Katanya malas, dan jawaban lainnya seperti ini; "Kalau bisa beli, untuk apa memasak?"

Untungnya Mark itu suami yang kelewat bucin dan sabar menghadapi Jaemin. Mengingat mereka sudah kenal sejak SMP, pacaran juga—yang entah kenapa bisa langgeng.

Mark soft boy soalnya, lebih banyak ngalah sama Jaemin. Makanya hubungan mereka langgeng.

Padahal Mark selalu diberi wejangan oleh orang tuanya agar hubungan awet. Seperti, "Kalau kalian sama-sama marah, tinggalin dulu bentar. Makan sendiri atau beli apa gitu, baru pulang terus bicarain baik-baik. Mau gimanapun juga, kalian sama-sama cowok, egonya besar dan udah rahasia umum cowok jarang mau disalahkan atau meminta maaf. Tapi, kamu jangan gitu."

Makanya Mark sabar. Lingkungan rumahnya seperti itu. Dan sejak kenal Jaemin, kesabarannya diuji setiap detik. Tapi, tidak apa. Mark ikhlas lahir batin.

"Sini, jangan digaruk." Mark menarik tangan Jaemin. Mengusap bintik merah yang ada di lengannya.

"Kita kabur aja bisa gak, sih?" tanya Jaemin, dia rasanya mau menangis sekarang. Hidup tanpa internet rasanya hidup di tahun yang sama dengan orang tuanya. Dan itu menyebalkan untuk Jaemin yang serba online.

Mark tersenyum, memilih untuk menggenggam tangan kiri Jaemin. Menggenggamnya erat.

"Nggak papa, cuman sekitar sebulan kok."

"Sebulan tuh lama, Mark!"

Mark terkekeh, "Enggak lama kok."

"Lama!"

Mark tidak membalas lagi, hanya memberikan senyuman kecil ke Jaemin. Yang lebih muda, menggerutu kesal. Dia menyenderkan kepalanya ke kaca bus, memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Tidak ada gedung-gedung tinggi yang biasa Jaemin lihat. Sekarang hanya ada pohon yang dia lihat.

Bus berhenti di sebuah plang bundar dengan nama kampung halaman sang Mama. Mark segera bangkit, menggendong tasnya kembali dan memberikan tas lain ke Jaemin. Barulah dia menggeret kopernya. Mereka pergi hanya membawa baju dan keperluan pribadi saja.

Keadaan sudah sore saat mereka datang. Langit sudah berubah jadi jingga dengan perpaduan awan berwarna abu-abu dan sedikit sentuhan ungu.

Langit yang cerah, berbanding terbalik dengan wajah Jaemin yang mendung. Pria itu hanya berjalan di sebelah Mark, mengikuti langkah suaminya.

"Dari kota, ya?"

Mark menoleh, melihat seorang wanita tua yang sepertinya baru saja pulang dari kebun atau mungkin sawah. Mark juga tidak tau.

"Ah, iya, Nek. Kami dari kota." balas Mark, "Kalau boleh saya tau, apa Nenek tau alamat rumah Kim Jungwoo?"

"Kim Jungwoo?" Wanita tua itu tampak berpikir, "Ah! Tau! Tau! Jadi, kalian keluarganya pria itu, ya? Kalian pasangan?"

EPHEMERAL » MARKMIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang