02. Kesabaran Mark
Walaupun terbatas karena enggak ada listrik, syukurnya ada kompor dan gas. Jadi, Jaemin tidak perlu panas-panasan di depan tungku.
Ada tungku, sih. Tapi sepertinya digunakan untuk membakar sesuatu. Seperti roti atau sejenisnya.
"Kenapa aku harus selalu mengaduk saat membuat nasi?!" Jaemin menggerutu, biasanya dia menggunakan rice cooker. Tapi, dia harus manual saat menanak nasi. Jaemin menghela napas, dia menoleh untuk mencari keberadaan suaminya. "Seandainya dia bisa sedikit saja memasak."
"Jaemin, aku dengar."
"Kalau dengar, bantu aku memasak!"
Suara langkah yang sedikit dibawa lari terdengar. Mark tersenyum tanpa beban, "Mau aku bantu apa?"
"Mii iki binti ipi?" Jaemin menye-menye.
Mark terkekeh, dia mengusak rambut Jaemin gemas. Tidak tersinggung karena Jaemin memang suka meledeknya kalau tentang memasak.
"Ini bantuin masak, motong bawang atau apa gitu. Terus itu nasinya udah mateng, pindahin biar kompornya bisa dipake buat masak."
Mark menurut. Dia mengangkat panci yang Jaemin gunakan untuk menanak nasi. Meletakkannya di atas meja makan baru memindahkan nasinya ke wadah lain.
Selesai dengan nasi, Mark membantu Jaemin memasak. Sekedar memotong bawang merah yang terlalu tebal, dan juga mencuci bahan-bahan lain.
Jaemin menoleh ke jendela tepat di depan wastafel yang sekarang terdapat burung bertengger nyaman di sana. Jaemin berkedip, dia mengibaskan tangannya membuat burung itu terbang menjauh.
"Apa ini kebun binatang? Semalam rakun, sekarang burung. Besok apa lagi?" tanya Jaemin dengan gerutuan.
"Ya gak papa, biar kamu makin banyak pengetahuan." balas Mark yang membuat Jaemin menggerutu. Mark tersenyum, "Ini akan seru kalau kamu nikmatin."
"Enggak! Ini enggak seru soalnya gak ada listrik apalagi internet." Jaemin membantah, dia bergeser untuk memotong wortel. "Hidup ketinggalan itu enggak seru. Apalagi ini pelosok banget."
"Tapi, pelosok gini akses jalannya gampang."
"Kalo gampang, kenapa listrik belum masuk?"
Mark diam, berpikir sebentar. "Mungkin karena daerah ini, menolak listrik."
"Ngawur! Pedalaman lain juga udah ada listrik, walaupun cuman siang. Lah ini, nggak ada sama sekali."
"Warganya dikit kali."
"Banyak. Gak liat itu dari gapura sampai sini banyak rumah?"
Jaemin menyalakan kompor, memilih untuk tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Dia memilih untuk fokus memasak. Mark mencuci tangannya. Mengusapnya ke celana yang dia gunakan.
"Ke sini," Mark menarik kepala Jaemin agar menatapnya. "Papa tidak akan memberikan hal buruk ke anak semata wayangnya ini. Kalau menurut Papa ini yang terbaik, pasti ini juga baik untuk kamu dan tentunya aku. Mengerti sayang?"
Jaemin memandangnya. Untuk sesaat, keduanya hanya diam. Saling menyelami di manik hitam mereka.
"Tidak." balas Jaemin datar, "Sana pergi. Kau mengganggu."
Mark mengangkat bahunya, memilih untuk pergi. Jaemin menyuruhnya pergi, jadi yasudah. Lagi pula, bantuannya sudah selesai. Jaemin tinggal memasaknya saja.
"Terbaik apanya? Papa buat aku susah." gerutu Jaemin, dia memasak dengan penuh emosi. "Semoga Papa enggak dapet jatah dari Mama sebulan."
♪ ♪
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL » MARKMIN ✔
FanfictionEnggak selamanya, tapi Jaemin merasa hidupnya amat sangat sengsara karena hukuman Papa yang katanya, "Kamu bukan istri baik, makanya Papa hukum". Dan Jaemin hanya mampu mengeluh ke Mark. MARK! Dom JAEMIN! Sub