11: Jealousy

70 7 0
                                    

Happy reading:)


Malam ini sehabis dari rumah Javie, Minzy menyanggupi permintaan tidak langsung Sakha untuk menemaninya keliling komplek perumahan mereka. Keduanya berhenti di sebuah taman dengan banyak lampu temaram. Tak jauh dari rumah.

Hanya ada segelintir orang di sana, kebanyakan anak muda. Mereka duduk bersampingan sambil menyantap jajanan yang tadi dibeli oleh Javie. Belum ada pembicaraan sedikitpun di antara mereka.

Minzy memandang langit yang kali ini tak ada bintang sedikitpun karena polusi cahaya. Bagaikan titik putih diatas kertas hitam. Hanya ada bulan yang terlihat di atas sana.

Berbanding terbalik dengan Sakha yang tengah menatap sandal milik Javie. Bahkan baju dan celananya pun punya Javie. Semuanya basah, terkena air hujan saat di perjalanan karena ia membawa motor. Tak seperti Minzy dan Arlan yang menaiki mobil jadi terlindungi.

Padahal keduanya sudah mengajak Sakha ikut atau tidak berteduh terlebih dahulu. Tapi Sakha tidak mau, ia memilih kehujanan.

"Kok gak protes?" ujar Sakha pada akhirnya.

"Yaudah, gue pulang." Minzy hampir berdiri, namun tangannya ditahan.

"Tega banget, udah duduk aja disini."

Minzy menurut.

"Gue kangen sama rutinitas kita," ungkap Sakha. Ia menatap Minzy dari samping. "Main game, jailin Cakra, ngambil snack Fahri, nyanyi-nyanyi sama Cecil, sama deeptalk.

"Udah lumayan lama kita gak ngelakuin itu. Lo juga udah jarang ke rumah. Kenapa jadi menghindar kayak gini sih?" lanjutnya terkesan miris.

Terakhir kali mereka mengungkapkan kegundahan masing-masing yaitu saat pengumuman hasil olimpiade. Minzy yang sudah capek dengan kegiatan belajarnya. Meskipun saat les Sakha juga ikut, Minzy tetap jenuh. Akhirnya setelah berbicara panjang dengan Sakha, Minzy memutuskan mundur. Sakha hanya bisa mendukungnya.

"Gue rasa kita harus hilangin rutinitas itu satu persatu." Minzy menoleh pada Sakha. "Lo bisa lakuin itu sama Geisha," ujarnya meski dalam hati ia tak rela.

Sakha terkekeh kecil. Bukan ini yang dia harapkan. Apakah Minzy pura-pura tidak mengerti apa yang diinginkannya? Ia hanya ingin Minzy tidak menjauh lagi darinya.

"Zy, lo tau kan apa maksud gue? Gak ada yang bisa gantiin posisi lo."

"Maaf, Sakha..." gumamnya. Lalu Minzy malah tersenyum cerah. Ia memperlihatkan jam tangannya. "Waktu kita tinggal satu jam. Kita bisa lakuin salah satu rutinitas, untuk kali terakhir."

"Zy? Sekarang gue yang gak ngerti sama lo." Sakha terkekeh kecil, ia sedikit terperangah.

"Ceritain semua yang lo pendam, gue dengerin."

Sakha menghela nafas, jika ini yang dimau ia akan mengikuti alur yang Minzy buat. "Bulan depan, Papa mau bawa Cecil sama Cakra ke Aussie. Walaupun sebenarnya tinggal ngitung hari. Mama gak tau hal ini.

"Papa datang lagi dan nemuin gue, selama ini gue rela terima beban dari dia. Gue selalu nurut apa kata dia, supaya adik gue gak dibawa. Tapi tadi malam dia kasih tau gue, Cecil sama Cakra mau dia bawa. Gue gak ngerti apa pikiran dia. Setelah buang anaknya gitu aja, sekarang mau ambil seenaknya."

"Sejak kapan dia datang?"

"Hampir satu bulan yang lalu."

Kini Minzy merasa bersalah. Sakha pasti memendam semuanya sendirian. Ia yang harusnya menemani malah menjauh. Pantas saja Minzy berulang kali melihat Sakha yang sayu. Lebih banyak diam dari biasanya.

Best Friend Ever Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang