9. Parsel 7 Tingkat

5.7K 984 101
                                    

Mamiku dulu ibu rumah tangga tulen. Mami-mami Menteng yang dandanannya cantik, naik mobil bagus pakai sopir, perginya kalau nggak ketemu teman arisan, ya ke pusat perbelanjaan. Beli apa aja yang pengin dibeli. Selainnya, di rumah. Mendidik, mengontrol anak-anak, rumah dan mengatur cashflow uang Papi.

Kami dibantu oleh 3 asisten rumah tangga dan 1 sopir. Gaji Papi dari yang awalnya seorang Dirjen Bea Cukai, kemudian dipercaya menjadi Wakil Menteri Perdagangan, udah lebih dari cukup. 4 tahun Papi bertahan. Berbagai pencapaian, Papi dedikasikan untuk negeri. Hingga berujung musibah di 6 bulan aku berumah tangga.

Hidup kami sejahtera. Duit nggak usah mikir. Aku bisa kuliah Kedokteran di Jogja dan Kak Tiya malah lulusan NTU di Singapore, nggak pakai jungkir balik mencari dananya. Sekarang aja, dia jadi IRT karena Mas Yogi mau Kak Tiya mengurus anak dulu sampai Iyut kelas 3-an. Setelahnya, bebas jika Kak Tiya mau berkarir. Aku ketawain sendirian aja. Kan, Kak Tiya hamil lagi sekarang. Coba! Sampai kapan dia mau memulai karirnya. Sebenarnya, nggak ada yang salah sih, ibu berpendidikan tinggi hanya menjadi IRT. EITS! Madrasah terhebat anak berakhlak baik adalah dari ibunya, Sob!

Makanya, aku berterima kasih sekali, Allah masih memberi umur panjang pada kami. Apalagi, Mami. Madrasahku dari bayi. Akan kujaga Mamiku sebaik mungkin. Kesehatan Mami nomor satu. Beliau sisa satu-satunya orang tua. Nggak ada lagi saudara yang mau dekat-dekat keluarga kami.

Dari sejak Mami mulai terdiagnosis hipertensi, aku dan Kak Tiya berusaha sebisanya menjaga mood Mami. Rajin nemenin kontrol ke dokter di rumah sakitku. Bikin beliau sebahagia mungkin. Meski, aku dan Kak Tiya tahu. Mami nggak seriang dulu ketika Papi masih ada. Ya, gimana? Belahan hati beliau telah Allah ambil kembali. Kami hanya bisa berpasrah menerima takdir.

Aku nggak pernah mau merepotkan. Maka, jika sakit pun, kuusahakan menahan. Senyum seceria mungkin. Pakai make-up lipstik secantik mungkin agar muka lemahku nggak kelihatan. Paling, aku cuma bilang ke Kak Tiya kalau aku nggak enak badan. Seperti sekarang, aku lebih memilih lanjut menginap di apartemen Fiona dan mengabari Kak Tiya.

Sobat kongkalikong di rumahku itu juga udah paham. Kak Tiya pasti akan bilang Mami kalau aku baik-baik saja, mau healing, main ke rumah sahabat, atau kerjaan.

Kecuali, siang ini, waktu aku pulang mau ganti baju, kutemukan Mami di sofa ruang tamu dengan parcel buah 7 tingkat di depannya.

"Get well soon, Dokter Tara. Jaga kesehatan. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Samanhudi."

Mami langsung menatapku horor, selesai mengeja tulisan yang ada di kartu ucapan. Aku yang baru sampai buka pintu, rasanya mau ngibrit kabur lagi. Tapi kakiku kaku. Mematung di tempat.

"Kamu sakit?"

"Kemarin aku sakit maag aja, Mi. Sekarang udah enakan."

Aku jujur soal enakan. Lumayan tidur di apartemen Fiona, aku bisa recharge energi. Aku mendekat. Tanganku bergelayut manja ke lengan Mami. Kepalaku rebah ke bahu Mami. Ah, nyaman banget.

"Kenapa malah ke tempat Fiona?" Langsung pahaku ditepuk. Nggak sakit sih. Kupeluk Mami erat. Aku sayang Mami!!

"Ada persiapan akreditasi, Mi, yang harus dikerjain bareng. Jadi, ya, Tara minta tolong dikit-dikit sama Fiona."

Mami menghela nafas. Alhamdulillah. Aku selamat.

"Ini hebat banget rumah sakit kamu. Sekarang kalau ada yang sakit, kirim-kirim parcel begini ya?"

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang