11. My Crazy ER (IGD Edan-ku)

6K 977 43
                                    

"Alah, Ra, Ra. Mami yakin kamu bakal nyesel. Tiya juga. Mana nih dia?"

Komentar pertama Mami setelah menutup pintu. Mengantarkan tamu pulang. Sedari Mbok Iyem pamit, aku udah nggak mau lagi ke depan menemui sopir Mbok Iyem. Kutunggu Mami di meja makan sambil menghabiskan kue di toples yang tadi Mami suguhkan.

"Memang kenapa? Mami percaya sama Bagas? Tara, sih, ogah. Mana ada penipu bilang jujur."

"Terserah kamu. Yang penting, Mami sekarang tenang. Nggak kepikiran kalian lagi. Dah, selesain masalah kalian sendiri! Mami mau mandi."

Seringan itu Mami melenggang ke kamarnya, setelah selama 1 jam lebih, mewawancarai Bagas di depan. Aku bengong sendiri. Nggak percaya jika semudah ini menyembuhkan rasa penasaran Mami pada permasalahan anaknya? Dipertemukan pada oknum pembuat onar, langsung kelar.

Bulu kudukku merinding. Atau, jangan-jangan Bagas menghipnotis Mami biar jadi pembelanya? Kok bisa seyakin itu jika aku akan menyesal suatu hari nanti? Bagas cerita apa sih? Aku jadi penasaran.

-------

Pikiranku berkelana sejak malam itu. Jauh sekali. Membayangkan banyak skenario. Jika Mami terlihat oke, kemungkinannya:

1. Bagas benar, aku salah. Tapi masa 9 tahun dia baru nongol? Cicilan mobil aja udah kelar duluan. Se-cemen itu baru mau membenarkan semua kesimpangsiuran ini setelah hampir satu dasawarsa? Ke laut aja, Pak! Belajar sama penyu. Lebih gesitan jalannya penyu daripada dia!

2. Bagas tetap salah, keputusanku yang benar. Ya, bisa aja dia berkilah di depan Mami. Nggak mau image-nya hancur. Bikin bukti palsu. Merancang drama baru, yang mudah diserap kepala Mami. Atau, kasihan kali sama Mamiku. Jadi biarin aja, udah, dibohongi lagi demi kebaikan. Daripada jantungan, kan, dengar kisah kebejatan dia?

3. Kami sama-sama salah. Aku ogah banget mengakui yang ini. Pilihanku udah benar dari awal.

4. Kami sama-sama benar. Win-win solution yang akan kutawarkan.

Udahlah! Ngapain diperpanjang lagi. Toh, cinta lama udah kelar. Aku tetap merasa benar di jalanku, dia kukasih kesempatan merasa benar bersama penjelasannya. Hidup kami jalan masing-masing. Nggak saling bersinggungan. Beres, kan? Aku males banget ribet. Bagas itu ribet abisss. Marahku, sayangku, penasaranku pada alasan mengapa dia sama Gayatri kala itu, udah expired. Tersisa kekesalan saja. Bisa kuredam dengan cara menjaga jarak. Jauh-jauh darinya. Kalau dia udah jadi staf PNS tetap di Samanhudi, maka aku sebagai staf kontrak yang akan pamit. Semalaman, aku mulai menggulir tentang info program PTT, LPDP luar negeri, pendaftaran PPDS terdekat, lowongan IGD rumah sakit lain atau apalah. Semoga nggak terlalu terlambat. Aku mau udahan aja jadi dokter IGD di Samanhudi. Kabur menyelamatkan harga diri. Kabur menyelamatkan sisa kepingan hati.

"Selamat berjuang ya? Pasien lo banyak hari ini."

Baaah, Dini ngoperin 15 pasiennya. Belum 2 yang baru masuk.

Ini jaga malamku. Pada nggak jalan malam mingguan apa? Kok mainnya ke IGD sih?

Segera kubuka satu per satu rekam medis di meja, setelah selesai keliling dari satu bed ke bed lain.

"Segini mah kecil," sombongku.

"Lo dah sembuh?"

Aku meliuk-liuk dari bangku bulat putar ini, sesenang mungkin. Lumayan. Aku nggak masuk seminggu. Izin sakit lanjut cuti. Mengobati badan remuk, hati hancur, juga masalah di kepala yang kian kusut. Ya, walaupun pencarian akan dibawa kemana masa depanku, belum membuahkan hasil semingguan aku mendekam di kamar.

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang