Aku nggak habis pikir sama orang yang suka ngomong, "Dokter kok sakit."
Makhluk yang bicara begituan pasti nggak punya empati tinggi. Dia pikir kami ini kaum robot yang bisa diforsir 24 jam melayani pasien? Robot aja bisa korslet, rusak.
Shift kerja 24 jam kami dibagi menjadi 3. Pagi, siang, sore. Mulai jam 7.00-14.00, lalu 14.00-21.00, dan terakhir 21.00-7.00 besokannya. Apakah kami selalu pulang tepat waktu? Enggak, Bestie. Seringnya, mundur. Andai bisa pulang cepat, itu berarti hanya dalam mimpi.
Aku paling suka shift pagi karena temannya banyak. Staf semua hadir ke RS. Atau, shift malam dimana aku bisa menikmati langit sambil makan ayam dan ngopi di bangku depan IGD. Paling nggak suka shift siang karena pulangku paling cepat jam 10 malam. Aku ngeri setiap melewati terowongan dekat RS, yang membuatku akhirnya memutuskan numpang tidur di kamar dokter jaga.
Seperti sekarang.
2 hal yang nggak kusuka sedang terjadi.
Pertama, ada seorang perawat baru yang ngomong, "Dokter kok sakit," dan itu terjadi di jagaan jam 20.30, dimana aku bertugas menjadi dokter jaga bangsal bulan ini.
Ditambah 1 lagi yang sebenarnya aku nggak suka, tapi rasa bersalah menyergap naluri. Bagas sakit. Asma dan batuknya kumat plus ada infeksi saluran nafas atas. Gara-gara aku meninggalkannya malam itu, kah?
"Ada yang dikeluhkan Dokter?" tanyaku dengan tarikan bibir paling ramah. Seolah makin lebar, makin digedein juga gajiku.
Bagas sudah nggak terpasang selang oksigen. Jadwal nebulisasi juga telah berkurang menjadi 1x sehari.
Hari pertama dia masuk IGD—3 hari yang lalu—bikin aku ikutan panik ditelepon Odi malam-malam. Agak aneh memang mengapa Odi menghubungiku terkait dengan Bagas masuk rumah sakit. Bagas sudah mantan. Dia bukan apa-apaku lagi. Setelah dipikir, mengesampingkan Odi yang sekarang adalah sekutu Bagas, aku teringat permohonan Bagas kala itu. Dia meminta diberi waktu agar aku mendengarkan penjelasannya. Bagaimana kalau Bagas beneran parah? Bagaimana jika aku kelak menyesal di hari tua karena nggak sempat mengungkap kenyataan yang terjadi? Bagas bilang aku salah paham. Akhirnya, aku datang setelah shalat Subuh. Izin kepada Mami dengan alasan Fiona sakit. Di IGD, kutemukan Mbok Iyem yang sudah tua mengenakan jaket rajutnya. Beliau duduk sambil mengusap lengan Bagas yang sedang dinebu. Sesekali Mbok menawarkan botol air mineral dari pangkuan agar Bagas meminumnya. Sedangkan Gino—si pemuda blangkon— kebingungan sana-sini mengurus segalanya. Juga ponsel dalam tangan bergetar.
"Kamu kenapa sih, No? Kayak orang bingung?"
Gino menoleh ke belakang kala itu. Bagai tiba-tiba melihat malaikat, mata setengah wattnya sontak berbinar. Padahal, aku nggak dandan. Mandi bebek karena dingin banget, terus pakai sweater buluku ke IGD. Aku nggak buru-buru jaga, karena bulan ini jadwalku full di bangsal. Melayani keluhan pasien bangsal dengan senyum salam sapa.
"Dokter Tara? Alhamdulillah, Dokter datang. Mas, Mas, wonten (ada) Dokter Tara, Mas."
Aku mendekat ketika Mbok Iyem bangkit dan menjemputku. Mengalungkan lengannya seperti menahanku agar jangan kabur pagi itu. Tangisnya luruh di lenganku.
"Gusti, Gusti Raden Mas sakit."
"Udah telepon Solo, Mbok?"
![](https://img.wattpad.com/cover/347256634-288-k51370.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini
RomanceTara adalah perempuan bebas. Bebas tidur sembarangan, bangun siang, belanja sekehendak hati, makan junk food, nyetir kemana aja dia suka, dan yang pasti nggak ada orang ribet yang akan negur dia. Nggak lagi-lagi akan dia ulangi hidup dalam kekangan...