19. Pangeran Ruwet

5.1K 808 62
                                    

Ngasih harapan apa coba maksudnya? Udah kubilang jika aku menerima semua pemberiannya bukan berarti aku ngasih harapan, kan? Bagas itu kepintaran atau gimana sih? Kok nggak paham-paham!

Terus, sekarang dia berhak marah? Enggak dong ...! Sayangnya, memang doi kayaknya kepintaran deh. Nggak punya hak marah tapi tetap mengaktifkan mode seram. 

Bapak KGH satu ini kalau marah, ngeri. Bagas terkenal kalem-kalem asyik dibandingkan residen killer pada zamannya. Marahnya dapat dihitung jari sejak kami pertama kali bertemu. Jarang, tapi luaamaaa. Harus kurayu-rayu dulu biar luluh. Dibikin bahagia dulu sampai kami baikan. Aku minta maaf saja rasanya nggak cukup baginya. Dia nggak percaya jika aku nggak akan mengulangi kesalahan di masa depan. 

Pertama, waktu aku ketahuan dekat sama dokter IGD di tempatku Internship. Bagas berkunjung, mulutnya diam saja, tapi matanya mengawasi setiap gerak-gerik kami. Aku hanya berniat mau bikin dia mundur. Capek banget dengar Bagas ajakin nikah terus. Akhirnya, aku juga yang repot. Memastikan aku akan jaga diri. Kalau enggak, Bagas akan tiap hari pulang ke Purworejo. Sinting, kan, orang ini?!

Kedua, saat aku berangkat ke Jakarta nengokin Papi dan nggak izin sama dia. Dia nyusul sih, walaupun mukanya marah. Rawan disenggol. Aku mengaku salah untuk yang ini. Aku benar-benar pergi tanpa pengawalan siapapun. Ending-nya, Bagas lapor sama Papi. Aku dimarah-marahin Papi dan Mami. Beliau berdua nggak akan mau kujenguk lagi kalau aku nggak dapat restu dari suami.

Ketiga, ketika aku tantrum pengin praktek lagi setelah keguguran. Tantrumku nggak main-main. Saking nggak betahnya jadi pengangguran, aku nekat mendaftar lowongan dokter IGD ke 2 rumah sakit. Pertama, di rumah sakit swasta daerah Salatiga. Kedua, RSUD Madiun. Sengaja agak jauhan. Biar rumah kami pisah dari komplek keraton. Yang ini Bagas, sih, nggak ngomel-ngomel. Cuma, aku didiamkan sampai berminggu-minggu. Dia di Jogja, lama balas chat dan jarang mengangkat teleponku. Gimana nggak makin gondok akunya? 

Keempat, yang sekarang. 

Bahkan rengekanku malam terakhir ketemu dia, Bagas nggak marah. Dia cuma mengangguk, wajah kecewa, pasrah dan merelakan. Mungkin dia udah ikhlas, kali ya, melepaskan? Atau, udah capek ngurusin aku yang kabur-kaburan mulu macam anak galau mencari jati diri ini?

Mobil Bagas hening. Lelaki ini memang nggak suka menyalakan lagu, radio dan sejenisnya dalam perjalanan. Ia bilang mengganggu konsentrasi. Kecuali, aku yang cerewet, dia masih memaklumi. Daripada jadi bisul, kan?

Sekarang, aku nggak berani ngomong sepatah kata pun. Bagas menatap lurus jalanan Jakarta. Menuju apartemen daerah Setia Budi. Tempatnya dan Fiona tinggal. Aku baru sadar ketika hampir mencapai belokan rumahku, aku pulang nggak bawa mobil. Mau ngomong apa sama Mami dan Kak Tiya?! Pulang diantar mantan suami begitu?! Bisa-bisa Kak Tiya mencekikku.

"Berapa lama?"

Eh, dia ngomong setelah aku hanya bengong memandang suasana malam Jakarta yang nggak pernah tidur ini.

"Apanya?"

"Di sana."

"Oh, setahun."

Bagas terdiam lagi. Tangannya meremat  setiran. Rahangnya terlihat tegas. Matanya tajam menatap depan. Aku makin ciut. Nggak menyangka dia akan semarah ini.

"Apa usahaku kurang, Ra, 4 bulan ini?"

Usaha ngasih makan minum gratis ke aku? Ikut bermalam tiap aku jaga? Nganterin pulang padahal aku udah bawa kendaraan sendiri? 

Aku harus jawab apaaa, Bestie???

Kalau jawab iya, dia makin marah. Dijawab enggak, dikira aku ngasih harapan palsu lagi. 

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang