"Oke .."
Aku menatapnya datar.
"Oke ..."
Nadaku merendah. Aku mendengarnya tanpa interupsi.
"Oke ...," jawabku lirih makin tertahan. Lidah ini kelu. Namun, kuusahakan Bagas nggak akan tahu jika ada cekatan dalam setiap nafasku.
Aku mengangguk lagi.
"Kenapa oke-oke aja sih?"
Dia protes. Bagas memajukan badannya. Nggak lagi bersandar pada ranjang yang dinaikkan. Sosok Bagas kini berhadap-hadapan denganku.
"Ya, saya mesti ngomong apa?"
Aku segera mundur. Justru sekarang, akulah yang menyandarkan punggung ke bangku single ini. Kusilangkan tangan. Menyembunyikan dingin dan gemetarnya.
"Kamu nggak percaya?" tanyanya menelisik wajahku.
Kupalingkan muka menjauh.
Bukannya nggak percaya. Tapi, entah. Rasa macam apa ini? Yang ingin kulakukan sekarang adalah menampar Bagas sekeras mungkin lalu kuteriakkan sekencangnya di depan muka dia: KENAPA RUMAH TANGGA KITA SEKACAU INI SIH?! KENAPA SUSAH BANGET HIDUP SAMA KAMU?!!! SEMUDAH ITU MENGIKHLASKANKU PERGI MERAIH MASA DEPAN?? BULLSHIT!! BILANG AJA, KAMU NGGAK SEBEGITU CINTANYA SAMA AKU!!!
"Yang penting saya dengar dulu. Urusan percaya atau enggak, itu urusan saya sendiri," cicitku pelan. Nadaku datar tanpa terlihat kalut.
"Ini."
Bagas menyerahkan iPad-nya.
"Kemana-mana aku bawa. Di iPad, ponsel, bahkan kusimpan ke drive dan email. Jaga-jaga setiap waktu, jika tiba-tiba kamu mau mendengarku, Ra."
Aku menerima. Layar tersebut langsung menampilkan folder khusus dalam galeri video, tanpa harus kucari. Dia menyuruhku menayangkan semua. Ini tentang bukti fisik apa yang barusan ia ceritakan. Kuturuti mau Bagas. Daripada dia mengejarku lagi. Kuberi seluruh waktuku malam ini, mendengar dan melihat seluruh bukti tanpa kurang satu apapun.
Tanpa kusanggah. Tanpa kumaki. Tanpa kuminta lebih detail. Dan tanpa kutanya.
Kuserahkan iPad ke tangannya setelah selesai menampilkan deretan rekaman CCTV. Tentang bagaimana Gayatri dan teman-temannya menjebak Bagas. Pria berpiyama rumah sakit itu menerima dengan ekspresi penuh tanya. Lantas, ia onggokan begitu saja iPad di ranjang.
Bagas membenarkan duduknya. Sepasang maniknya nggak melepas pandangan dariku. Sedangkan, aku menunduk. Kedua tangan kutumpu di lutut. Masihkah aku memiliki kekuatan untuk berdiri? Karena lututku pun sekarang lemas.
Bayangkan saja. Sayatan di kulit yang udah mulai sembuh, tiba-tiba dirobek kembali olehnya. Terbuka lagi. Berdarah lagi. Nyeri lagi. Nggak tahu deh nanti, ujungnya bakal sembuh atau jadi nanah? Bekasnya pun pasti nggak akan secantik luka pertama. Apalagi semulus yang tanpa luka.
Tara itu perempuan kuat. Mau dibilang Tarantula, nenek-nenek jomblo, tante momong anak, dokter ngenes penunggu IGD, Tara nggak akan jatuh lagi. Iya. Aku nggak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini
RomanceTara adalah perempuan bebas. Bebas tidur sembarangan, bangun siang, belanja sekehendak hati, makan junk food, nyetir kemana aja dia suka, dan yang pasti nggak ada orang ribet yang akan negur dia. Nggak lagi-lagi akan dia ulangi hidup dalam kekangan...