13. Invasi Teh Tawangmangu

6.9K 870 43
                                    

Jantungku mau loncat ketika sampai parkiran IGD, Gino tiba-tiba muncul dari seberang mobil. Berdiri dari bangku yang kududuki semalam. Pakai kemeja batik bersama blangkon kesayangan. Aromanya segar tapi keringat sudah membanjiri. Dari kapan dia di sini?

"Gino? Ngapain di situ? Berjemur?"

Ini pukul 9 pagi dimana matahari sedang hangat-hangatnya. Seperti biasa, aku memilih pulang agak siang, agar nggak bertubrukan sama arus emak-emak mengantar anak sekolah. Juga bapak-bapak berangkat kerja.

"Mboten, Dokter (Tidak, Dokter)."

Gino mendekat membawa tumblernya ketika aku membuka pintu belakang. Memasukkan ransel jaga berisi baju kotor, sepatu dan tas laptop.

"Meniko saking Mas Bagas (Ini dari Mas Bagas)."

Disodorkannya tumbler hitam. Ada sebuah note di luarnya.

Your truly favourite. No more coffee.

Aku berdecih. Ternyata, kalimatku yang super melecehkan semalam, nggak mempan, ya, menyakiti Bagas? Padahal udah kukaretin 5 saking pedasnya.

"Kalian kasih jampi-jampi pelet biar saya bertekuk lutut ya?"

Bola mata Gino langsung keluar. "Mboten, Dokter. Kami orang beragama. Tidak mungkin kami pakai begitu. Meniko teh saking kebunipun (Ini teh dari kebunnya) Kanjeng Gusti Ibu Ratu."

"Ini nggak ada imbal balik apa-apa, kan? Ntar saya ditagih ini-itu lagi!" Syarat dan ketentuan jika aku menerima pemberian Gino.

Gino menggeleng. Oke. Aku terima tehnya Gino. Gino, ya. Bukan Bagas. Udah kubilang, aku paling malas menolak hadiah orang. Ya, kali. Aku haus. Lumayan, lah, pagi-pagi dapat teh gratis. Yang penting basmalah dulu nanti sebelum minum.

Gino menunduk dan menengadahkan tangan setelah aku memasukkan tumbler ke mobil.

"Apalagi ini?"

"Kuncinya, Dokter."

Dahiku mengernyit.

"Kulo didawuhi Mas Bagas supados ndherekaken Dokter kondur (Saya diperintah Mas Bagas supaya mengantarkan Dokter pulang). Beliau khawatir Dokter menyetir setelah semalamam tidak tidur. Bahaya."

Aku nggak bisa untuk nggak terbahak. Tawaku lepas. Sampai kupukul kap atas mobil saking lucunya. Gino terlalu polos diperdaya tuannya. Kasihan banget dan bikin aku makin zeballl sama Bagas. Yang mau minta maaf siapa, yang usaha siapa. Dasar cowok manja!

"Aduh, Gino... Jangan mau disuruh-suruh sama bos kamu itu. Saya udah biasa jaga malam, ya masa, ketiduran sambil nyetir? Saya bukan bayi yang naik kendaraan langsung ngantuk. Kamu pulang aja sana!"

Gino menunduk makin dalam. Ia masih bergeming.

"Kenapa? Takut Bos kamu marah?" Gino mengangguk. "Kalau dia marahin kamu, lapor saya. Saya bejek-bejek jadi rujak nanti. Kayak gini aja marah."

Aku berdecih sambil masuk mobil.

Gino langsung mengangkat kepala. Dia senyum senang. Kedua tangan menangkup di depan wajah. Memberi penghormatan penuh takzim sebelum aku pergi. "Maturnuwun sanget, Dokter (Terima kasih banyak, Dokter)."

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang