3. Staf Dokter Baru

5.9K 1K 94
                                    

Siapa yang berdoa aku banyak pasien hari ini? Selamat. Doa Anda terkabul.

Ruanganku sekarang ngalah-ngalahin ramainya pasar malam Iyut. 20 bed IGD penuh dalam satu waktu. Dokter, perawat, residen, adik koas dan adik perawat, keluarga pasien, belum tangis rintihan yang bikin aku merinding sebadan-badan.

Ada kecelakaan lalulintas sore ini. Ruang IGD Bedah penuh sampai tumpah-tumpah ke IGD umum.

Di rumah sakit ini, selain 20 bed utama di ruanganku, ada lagi ruang IGD Bedah, IGD Obgyn, IGD Neuro, IGD Jantung dan IGD Resusitasi untuk pasien kegawatan. Pasien yang masuk akan langsung kami arahkan ke ruang masing-masing sesuai diagnosa. Selainnya, maka akan menempati bed umum di ruangan paling besar yang kutempati.

Ruangan-ruangan yang tadi kusebutkan mengelilingi IGD utama. Jadi, ketika bed brankar mereka sudah penuh, bisa nitip dulu ke tempatku. Termasuk, dalam keadaan hectic kekurangan orang semacam ini. Kami turut membantu para residen Bedah menangani yang bisa ditangani di ruangan.

"Tinggal jahit luar ya, Bu?"

Usahaku menenangkan si Ibu yang kelihatan syok menjadi korban tabrakan beruntun sebuah mobil. Sopir mobil mabuk. Nggak sadar menelan banyak korban. Beberapa korban lain yang patah tulang sedang dipersiapkan tindakan operasi.

"Masih lama nggak, Dok? Suami saya mana?"

Aku dibantu Odi sebagai asisten. Kami mengerjakannya nggak di ruang tindakan bedah, melainkan di bed 20 ujung. Sorot lampu mengarah ke medan operasi pada kaki. Masker menutupi sebagian wajah kami, handscoen melapisi kedua tangan.

"Suami Ibu ke administrasi. Nanti ke sini lagi. Sebentar aja kok."

"Nggak papa, nangis aja kalau mau nangis," imbuhku.

Kulihat dari tadi beliau menahan sesak di depan suami. Ucapanku ternyata benar ia lakukan. Tangis sendu pecah. Meski nggak keras, kurasakan tarikan nafasnya dalam. Seolah melepaskan beban berat yang sedari tadi dipikul. Padahal luka ini sudah kubius. Nggak terasa sakit walaupun robekannya cukup besar.

Aku yakin, ada masalah besar yang bagai gunung es, meletus, terpicu oleh kejadian mengejutkan ini.

Air mata itu keluar bukan sebab luka robek di kaki. Melainkan, sayatan tak kasat mata yang ada di hati.

Seperti hidupku 9 tahun yang lalu.

Aku wanita bersuami yang kabur dari rumah suaminya. Tempaan demi tempaan menumpuk. Tuntutan yang nggak bisa kupenuhi, dukungan yang kubutuhkan nggak kudapatkan, juga panggilan Kak Tiya mengabarkan Papi sakit, membuatku berani mengambil langkah. Terbang ke Jakarta. Meninggalkan Solo. Tempat yang tadinya kuimpikan, ternyata enggak.

Satu titik yang nggak kusesali hingga kini. Aku berhasil lepas dari jerat mereka. Aku diberi kesempatan Allah bertemu Papi meski hanya beberapa jam menemani.

Aku datang, menangis di depan Papi, nggak serta-merta lantaran kondisi Papi.

Papi selalu bilang, suatu saat akan ada masanya setiap manusia menemui momen tersebut. Asal sudah mempersiapkan bekal, maka engkau takkan ketakutan.

Aku yakin Papi nggak takut. Beliau bertobat sebenar-benarnya.

Hanya saja ... aku sendiri yang ketakutan.

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang