10. Mantan Sepasang Lidi

5.9K 1K 86
                                    

Orang sabar itu kesel. 
Iya, nggak?

Aku nggak mau masuk lagi kriteria orang sabar pantatnya lebar. Tinggi badanku aja cuma 149 cm. Bagas itu tingginya normal macam cowok yang lain.  170-an. Ketika bersanding sama aku di pelaminan, kami jadi kayak dua lidi panjang pendek yang disatukan. Saking aku kependekan dan kami sama-sama langsing. Udahlah. Nggak ada seksi-seksinya dibandingkan siapa tuh ... women whose must not be named.

Untungnya, sekarang aku nggak lidi-lidi amat. Makanku banyak. Beratku udah naik jadi 53 kg. Jangan ngitungin BMI-ku! Haram hukumnya.

Sedangkan Bagas kupikir juga makin makmur. Aku nggak suka orang-orang menyebut perutnya kotak-kotak, dadanya bidang, sampai segala bilang bisepsnya keras. Kayak lelaki sempurna di dunia, cuma dia aja. Hei, para gadis! Menurutku, cowok seksi itu dari isi otak dan attitude. Yang paling menghargai perempuan sebagai perhiasan yang mahal harganya. Jangan tertarik lah sama cowok yang sok-sokan nge-gym demi menarik kaum hawa. Jangan jadi macam anak alay yang lupa kalau kecengan mereka juga bakal tua, keriput, pendengaran mem-budeg, mata rabun, gigi rontok terus osteoporosis.

Oke lah, aku terima kalau sekarang Bagas berisinya karena massa otot, aku nambahnya massa lemak. Fine!

Tapi, eh, tapi. Apa gunanya body oke, kalau kelakuan minus, kan? Bagai kumbang yang hobi singgah bunga sana-sini. Amit-amit.

Mbok Iyem menyuruhku agar banyak-banyak sabar. Sabar itu ganjarannya besar. Beliau abdi dalem setia dari Bagas balita. Sudah pasti 100% ada di pihak Bagas. Mami juga ini ada di kubu siapa sih? Aku kesel disuruh sabar.

"Gusti Raden Mas mboten gadhah kalepatan sekedikipun. Meniko ... (Gusti Raden Mas tidak punya kesalahan sedikitpun. Itu ...) salah paham, Gusti."

Simbok melanjutkan obrolan setelah bercerita tentang Gino dan Pak Kirno. Juga, keadaan terkini orang-orang di keraton. Aku banyak diamnya. Jujur, yang kukangenin dari Solo cuma Kanjeng Ibu sama Mbok Iyem. Udah. Nggak ada yang lain lagi, even kenyamanan dan kehormatan yang ditawarkan di sana. Dan, sekarang, Mbok Iyem pelan-pelan menjurus ke tema perpisahan kami.

"Udah ya, Mbok. Saya nggak mau pertemuan kita diisi sama ngomongin tentang Bagas. Orang tiap hari kita udah ketemu juga di RS."

"Kalian satu rumah sakit?!"

Aduh! Kutampar sendiri mulutku. Nggak bisa banget sih jaga rahasia! Ya, gimana mau jaga? Ini si Biang Kerok udah jalan-jalan sampai pelosok Jaksel begini. Mengkhawatirkan. Aku jadi ingat gimana getolnya dia waktu bolak-balik Purworejo-Jogja dulu. Tipe manusia yang kalau belum tercapai tujuannya, dikejar terus sampai mentok. Mengerikan!

Aku ketemu Bagas nggak tiap hari juga sih. Kami beda departemen. Aku sibuk di ER. Dia sibuk di Interna. Untungnya, Bagas bukan lelaki grusukan yang tiap hari ngecengin cewek-cewek IGD. Berani dia bikin ulah di sarangku, kutendang sampai Ujung Kulon. Biar diseruduk badak sekalian.

"Iya, Mi," jawabku pasrah.

Aku masih mengenakan atasan mukena yang sejak tadi kupakai saat menemui tamu. Dalemanku daster lengan panjang. Vibes rumah ini kebawa Kak Tiya yang hobi pakai daster sejak melahirkan Iyut. Nyaman, ringan, menyerap keringat, dan murah.

"Jadi, parsel buah tadi? Bagas ini internist di tempat kamu? Staf baru?"

Mami mulai menggali.

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang