8. Dokter Jadi Pasien

6.3K 1K 48
                                    

Aku berjalan cepat ke lobi apartemen. Mencari toilet. Menyalakan kran dan duduk di closet. Menangis berat di sana. Rasanya sesak sekali hatiku. Kupukul dada ini. Menahan untuk nggak melempar bubur ke muka Bagas itu sulit. Aku marah. Aku kesal. Aku lelah. Kesabaranku seujung kuku. Sedangkan, emosi yang kubawa amat meluap-luap. Aku sedang berjuang sendirian dalam kerasnya hidup ini, lantas dia datang dalam keadaan yang sangat baik, bahagia, senyum ringan, karir bagus, dan tetap dengan segala bala bantuan yang senantiasa menghormatinya sampai mati.

"Kenapa, Ra?"

Fiona telah berada dalam mobil ketika aku menyusul. Mukanya seperti ketemu hantu. Panik melihatku. Matanya memindai lagi dari atas ke bawah. Mungkin makeupku udah berantakan lagi.

"Muntah lagi, ya, lo? Obat tadi udah diminum, kan?"

"Gue ketemu Bagas di tukang bubur," potongku.

Mulut Fiona menganga. Ia menggantung pertanyaannya. Kehabisan kata-kata. "Wow!" Ia heboh sendiri. Batal melajukan mobil. "Gue sampai bingung mau ngomong apa, tapi ... ngapain?!! Tinggal di apart ini juga?!"

Aku menggeleng. "Gue nggak nanya. Males!"

Hembusan nafas panjang kudengar. Fiona menenangkan kepanikannya sendiri. Perlahan, kusandarkan badan. Memejamkan mata ketika roda mobil mulai berjalan keluar basement. "Oke ... nggak penting kita tahu dia tinggal di mana. Terus? Kalian tadi gimana? Gue lihat lo sekarang ... kok, kacau begini ya? Habis nangis, kan?" Tebak Fiona.

Kutarik nafas panjang. Mobil kami membelah ibukota. Melewati gedung-gedung tinggi. Mataku menerawang langit biru. Masih pagi. Jalanan belum terlalu ramai.

"Kenapa, sih, Fi, dia beginiin gue? Kenapa mesti gue, yang dulu dia pilih, kalau cuma mau disakitin? Gue nggak berharap apa-apa waktu tahu dia orang yang nggak tersentuh. Mimpi ketinggian, kalau gue nikah sama dia. Dan setelah semua terjadi, gue terima dia, gue berusaha buat dia, buat kami, gue kira dia baik. Ternyata ... apa? Bangsat!!"

Tangan Fiona mengusap bahuku. Duh, jadi melow, kan, aku. Ngomel lagi. Bicara buruk lagi.

"Udah ... udah. Lo harus kuat. Jadi Tara, si Perempuan Hebat yang gue lihat masih berdiri tegak demi keluarganya. Jangan sampai masa lalu ini bikin lo lemah lagi. Gue ada di sini. I'm your number one supporter, Tara!"

Aku diam. Memijat pelipisku yang pusing. Perutku mulai bergejolak lagi. Kutahan. Nggak mungkin, kan, aku muntah di mobil Fiona yang wangi ini.

"Yang penting, pagi ini, lo selesaiin jagaan jalan sehat, balik dari situ, gue temenin deh, kemana lo mau pergi. Waktu gue buat lo. Mau muntahin segala uneg-uneg, gue temenin."

Apa bisa? Sedangkan sekarang aku berkunang-kunang.

Semoga semua sehat. Nggak ada yang mampir ke posko kesehatan kami. Jadi, aku bisa tidur.

-----------
-----------

"Dokter Tara ngapunten Mas, menopo tasih—" (Dokter Tara maaf Mas, apa masih—)

"Bahasa Indonesia, No. Belajar. Biar kebiasaan di sini."

Gino mengikuti tuannya berjalan di lautan manusia ini. Mengelilingi rute yang dibuat sekitaran Senayan. Beritanya, acara ini diikuti oleh 2000 orang. Start dan finishnya sama. Di Gelora Bung Karno. Memakai setelan olahraga serba putih, juga topi, Bagas memilih berjalan cepat alih-alih pelan. Bahkan, hampir berlari kecil. Gino sedikit ngos-ngosan mengikuti pria yang tidak mau dipanggil Gusti Raden Mas oleh Gino. Lelaki yang Bagas telah anggap sebagai adik sendiri selain Bagus.

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang