"Nggak usah panik. Tenang. Kamu mulai dari ujung sana. Aku dari arah sini sama residen," pesannya di akhir lorong ruangan jaga nakes IGD. Tangannya menunjuk sana dan sini.
Pembawaannya bak air bejana. Tenang tanpa riak. Matanya menyapu seluruh IGD secara cepat. Seolah menilai situasi, demi menentukan langkah lanjut seperti apa yang akan ia ambil.
"Siapa pula yang panik!" jawabku ketus.
Kubuang pandangan dari mengamati Bagas.
Dia masih residen berotak Einstein-ku itu. Seolah ada rumus tak kasat mata, langsung muncul di kepalanya, ketika dihadapkan pada suatu kejadian. Saat kupuji waktu kami tugas di Sardjito dulu, dia mengaku belajar dari taktik Lionel Messi.
"Kamu harus tahu medan, Ra, sebelum bertindak. Pakai 5 detikmu untuk menilai. Jangan grusah-grusuh."
Makanya, dulu, Bagas berani banget memberiku waktu berpikir. Menimbang baik-buruknya pinangannya. Sambil tetap invasif. Menjaga agar mangsanya nggak lepas selama masa menimbang itu. Biar aku paham medan rumah tangga semacam apa yang akan kuhadapi.
Huek. Aku mual mengingat nasehat masa lalu.
Bagas tersenyum sebelum aku melengos.
Kami berpencar sesuai arahan Bapak internist ini. Hebatnya, aku baru sampai di pemeriksaan pasien ke-5, dia udah berdiri di belakangku. Kaget banget tadi waktu mau mundur, tiba-tiba ada sosoknya mengamati di situ. Mbak Arum pun ikut terkesiap.
Susah!
Ini susah!
Aku nggak bisa kerja sama dia. Apalagi dilihatin begitu. Badanku, tanganku, otakku reflek mundur ke 13 tahun silam. Di masa aku menjadi koasnya Bagas. Koas polos yang nggak tahu apa-apa. Dia mengambil alih kerjaku setelah menyindir, "Lama juga kamu. Kita harus segera, Tara."
Suaranya pelan, tapi nyelekit.
Eh, Kumpret! Panggil Dokter Tara! D-O-K-T-E-R T-A-R-A! Mbak Arum senyum-senyum aja di samping. Lengannya menyenggol lenganku. Sok asyik. "Cie ... Tara."
Aku balik berbisik. "Bukan waktunya bercanda, Mbak. Abis ini Mbak yang pastikan semua obat masuk. Nggak boleh ada yang kelewat. Dan nggak boleh laaamaaa...!" Sindirku mengulang kata-kata Bagas untuk Mbak Arum.
Egoku tersentil juga menjawab mulut jahatnya Bagas.
"Daripada cepat, ada yang ketinggalan. Mendingan biasa tapi terselesaikan."
"Cepat, rapi, dan terselesaikan. Itu lebih bagus, Ra." Dia bicara, membelakangiku sambil memeriksa perut pasien. "Nggak ada yang sakit, kan, Kak?" tanyanya pada pasien. Si perempuan itu menggeleng. Mukanya merah semu-semu malu. Deuuhh ...! Lama-lama aku juling kebanyakan memutar bola mata. Jengah!
Pindah pasien lagi.
Kali ini, masih jatahku. Dan ... dia yang memeriksa lagi. Mau sok jagoan di depanku sih, ini kayaknya.
"Kita nggak perlu gastric lavage untuk kasus begini, Tara. Kasih antiemetik sama rehidrasi dulu. Tadi udah dimuntahin makanannya?"
Bagas menerangkan setelah memeriksa pasien ke-7.
"Sudah, Dok," jawab pasien.
![](https://img.wattpad.com/cover/347256634-288-k51370.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini
RomanceTara adalah perempuan bebas. Bebas tidur sembarangan, bangun siang, belanja sekehendak hati, makan junk food, nyetir kemana aja dia suka, dan yang pasti nggak ada orang ribet yang akan negur dia. Nggak lagi-lagi akan dia ulangi hidup dalam kekangan...