6. Pencuri Kopiku

6.4K 1.1K 71
                                    

"Oh. Alhamdulillah, kalau semua sehat," jawabku pelan.

Aku nggak mau membahas lebih. Nanti dia pikir aku excited lagi, ketemuan, terus bisa duduk berdua begini. Padahal dia udah bikin kacau tenangnya hidupku.

"Kamu udah lama jaga di sana?"

"Lama." Sejak sebulan setelah Papi meninggal.

"Seru ya? Orang-orang IGD kelihatannya juga kompak."

"Banget." Seru banget sebelum kedatangan kamu merusak hariku.

"Kamu masih suka diskusi kasus?"

"Masih." Tapi nggak semua suka diajak diskusi. Udah capek duluan sama kerjaan. Nggak kayak mantan residenku dulu, yang pinternya kayak Einstein. Aku nanya apa, dia jelasin sampai kerut penasaran di jidatku mengendur.

Aku jawab pendek-pendek pertanyaan Bagas. Susah sebenarnya, nahan-nahan biar nggak banyak ngomong di depan Bagas. Apalagi dia itu selain jadi ATM berjalan, juga kamus hidup buat kami yang malas browsing atau buka Dorland. Penjelasan perjalanan penyakit yang kayak novel pengantar bobok di buku diktat aja, dia bikinkan bagan alur ciamik biar kita mudah belajar. Pokoknya jadi koas Bagas ini, surga banget deh.

Selain jadi tempatku nanya macam-macam, dia juga enak untuk diajak ngobrol ngalur-ngidul apa aja. Bahkan dengan topik lompat-lompat dan nggak berasa kalau obrolan kami bisa sampai serandom itu. Nggak seperti sekarang. Garing kayak ikan asin kelamaan dijemur.

Udah, cukup. Itu aja sih plus-nya dia. Selainnya, nggak ada ah! Dia cuma cocok dijadikan kawan, tapi nggak sebagai suami.

Selebihnya, kami nggak berbincang lagi. Aku asyik karaokean mengikuti lirik yang dilantunkan. Kadang kulebih-lebihkan pakai gaya. Kubuktikan, aku menikmati kesendirian ini tanpanya. Saat menemukan lirik yang bisa kupakai buat nyindir, kukeraskan nyanyian tepat di depan kuping Bagas. Rasain!

-------

"For real, Tara ... coffee again?!"

Ratu Petasan datang.

Aku reflek menyemburkan kopiku ke kolam. Dih! Kenapa Mbak Radiologi ini nggak ngagetin aku waktu nengok ke muka Bagas aja sih? Kan, lumayan. Aku dapat kesempatan nggak sengaja sembur muka ngeselinnya pakai kopi.

"Emang udah berapa gelas minum kopi?" tanya Bagas sok peduli. Iris matanya udah bulat kayak jaksa yang siap mencerca.

"Bukan urusan Dokter Rendra," tukasku.

Sinar di wajah Bagas langsung redup, begitu kutangkis pertanyaannya. Sok-sokan perhatian. Gue udah hafal gaya lo, Bang!

Tapi Mbak Radiologi nggak sekubu sama aku. Dia menjawab," Biasanya kalau jaga pagi 2 gelas, pulang mampir kedai kopi lagi, pasti bawa 1 tumbler gede. Tadi di apart saya, minta dibikinin juga. Dan sekarang ...?"

"Itu karena lo kelamaan. Gue, kan, bosan nungguin!"

Fiona mengeplak pahaku keras. Ampun! Sakit, Mbak!

"... Emang nih, Dokter, tolong kasih nasehat!"

Aku membuang muka.

Langit Tak Berharap Bintang Hadir Malam Ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang