HAPPY READING!
Sang surya tersenyum manis memancarkan cahayanya yang hangat memeluk bumi, warna biru nampak sangat indah kala mendongak menatap nabastala. Pagi hari yang sempurna, diiringin senyuman manis yang tidak lepas dari wajah seorang gadis.
"Bidadarinya abi kelihatan sangat bahagia sekali, dari tadi senyum-senyum mulu. Ada apa sayang?"
"Tidak ada papa bi, hanya ingin senyum saja. Eum, hari ini abi sibuk? Mauren mau minta tolong, boleh?"
Pria tersebut terlihat berpikir sejenak. "Hari ini free, kamu mau minta tolong apa?"
"Rahasia, nanti aja bi."
Wajah gadis itu berseri senang, ia bangkit dari duduknya, memernahkan langkahnya untuk berjalan. Sang abi sudah bersiap hendak membantu gadisnya yang kini sudah bukan anak kecil lagi, namun Mauren memberikan kode bahwa ia bisa berjalan sendiri. Fikar pun menurut saja, ia pun hanya memperhatikan langkah hati-hati gadisnya.
Alma baru saja turun dari lantas atas membuat kedua bidadari kesayangan Fikar itu berpapasan. Sorot mata tidak suka begitu jelas terpancar dari kedua mata ibu dua anak itu. Segitu bencikah ia kepada gadis kecilnya ini?
"Um...."
"Jangan panggil saya umi!" Alma memotong ucapan Mauren dengan nada menyentak membuat wajah berseri gadis itu berubah murung.
Alma pergi ke halaman belakang dengan langkah cepat melewati Fikar yang memperhatikannya. Hanya dengusan pelan yang keluar dari Fikar, ia pun menghampiri Mauren yang masih mematung di dekat tangga.
"Sayang?"
"Mauren gak papa kok bi, mungkin umi masih kesel sama Mauren. Aku kan nakal banget gak kayak A Maheer," ucapnya terdengar miris.
Gadis itu segera melanglangkahkan kakinya cepat menuju kamar. Dari belakang, Fikar bisa melihat bahu bidadari kecilnya itu bergetar menahan tangis. Tidak bisa dipungkiri, setelah mengalami kecelakaan itu Mauren jadi mudah terluka dengan sikap Alma yang semakin dingin kepadanya.
Mauren sangat berharap dikondisinya yang seperti sekarang, ia akan mendapatkan kasih sang umi. Ia rindu pelukan hanya uminya, ia ingin mendengar ucapan lembut, ingin bermanja pada sang umi. Akan tetapi itu tidak akan pernah terjadi.
.
"Ya Tuhan, suhu tubuh non semakin tinggi." Telapak tangannya wanita paru baya itu masih menempel pada kening Franciska. Raut wajah khawatir begitu terlukis jelas tidak bisa disembunyikan.
"Ma... mama..." gumam gadis itu sejak tadi.
Wanita paru baya yang merupakan ART di rumahnya pun hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan, rasa iba pun tumbuh ketika melihat tubuh Francisca hang menggigil kedinginan.
"Non, kita ke dokter ya."
"Nggak mau, aku pengen sama mama."
"Non."
"Bi, telpon mama bi. Aku pengen ngobrol sama mama," ucap Franciska lemas. Kondisi gadis itu sangat memprihatinkan sekali.
ART nya itu bergegas mengambil gawaynya, ia berusaha menghubungi majikannya yang tidak kunjung mengangkat telpon. Tidak pantang menyerah, bi inah - ARTnya itu terusmenghubungin ibu dari Franciska. Entah panggilan keberapa, akhirnya sambungan telpon pun terhunbung.
"Ada apa bi! Saya sedang rapat, menganggu saja," cetusnya kasar.
Franciska memberikan kode pada bi Inah agar memberikan ponsel tersebut padanya.
"Ma? Mama kapan pulang? Aku sakit," ucapnya dengan nada yang benar-benar terdengar lemas.
"Istirahat dan minum obat, jangan manja. Mama sibuk," ucapnya sebelum sambungan telpon ditutup sepihak. Franciska menghembuskan nafasnya pelan, kemudian memejamka matanya yang serasa panas.
"Makan dulu, non."
"Nggak bi, aku mau tidur aja."
"Tapi---"
"Bibi keluar aja." Bi Inah pun hanya menurut saja dan keluar dari kamar benuansa merah muda ini, meninggalkan Franciska yang sedang sakit.
.
Di sebuah panti, Rion dan teman-temannya sedang berkumpul. Di hari libur seperti ini mereka meluangkan waktu untuk mengunjungi panti tersebut, namun kali ini ada yang kurang karena Mauren tidak lagi ikut bersama bereka. Beberapa anak yang dekat dengan mereka kerap mempertanyakan keberadaan gadis itu membuat mereka canggung.
"Kakak canti kemana? Udah lama ga main bareng kita, aku kangen." Anak bertubuh agak gemuk itu bertanya pada Rion yang sedang bermain mobil-mobilan dengannya.
Aldi yang berada di sebelahnya pun hanya menatap muka Rion yang masih terdiam. Ia pun menyenggol lengan Rion agar tersadar dari lamunannya.
"Kakak cantiknya lagi sakit, nanti kalo udah sembuh kita main bareng-bareng lagi."
"Sakitnya kok lama banget? Parah ya? Kakak cantik bakal sembuhkan?" Bibir mungil itu mengeluarkan rentetan pertanyaan membuat Rion gemas kemudian mencubit pipi gembul anak itu.
"Kakak cantik pasti sembuh, kamu do'ain ya."
"Ciap kakak."
"Anak pintar, kamu main sama anak-anak yang lain dulu. Kaka mau kebelakang sebentar," ujar Rion. Anak itu pun berlari menghampiri teman-temannya yang lain sambil membawa mobil-mobilan barunya.
Rion menarik nafasnya panjang, wajahnya terlihat lesu. Aldi pun menghampiri temannya itu yang sedang duduk di kursi taman belakang dengan tatapan kosong memandang kolam ikan di depannya. Bahkan saat Aldi duduk di sampinya pun ia tidak menyadarinya. Laki-laki itu terlalu sibuk dengan pikirannya.
"Gua perhatiin, lo banyak ngelamun. Ada masalah?" Aldi bertanya dengan wajah penasaran kepada Rion.
"Eh." Rion terlihat kaget dengan kehadirannya, laki-laki itu membenahi duduknya. "Gak papa, cuman lagi banyak pikiran aja."
"Yakin? Ga mau berbagi cerita gitu?"
Rion mengusap wajahnya kasar kemudian membuang nafas. "Sebenernya gua tau, gua udah tau dari awal," ucapnya lalu terdiam kembali menciptakan keheningan.
"Apa? Lo cerita jangan setengah-tengah nyet!"
"Sebelumnya maaf beribu maaf, lo boleh benci gua, gua pantas di benci."
"Ngomong aja napa! Jangan bikin gua darah tinggi," ucap Aldi tidak sabaran.
"Gua tau siapa yang nyebar foto biadab itu sejak awal, semua ini berawal dari Franciska pacar gua. Gua liat dia nyuruh seseorang buat ngedit foto kayak gitu seolah-olah itu Mauren, gua tau apa yang dia rencanain gua tau," jelasnya.
"BODOH!! LO BENER-BENER BODOH RION SAMUEL HARIANDO!"
Aldi mencengkram baju laki-laki itu dengan kuat. "Saat gua koar-koar kalo itu semua fitnah, KENAPA LO DIEM! KENAPA RION!"
"KARENA LO PENGEN NUTUPIN KELAKUAN BUSUK PACAR LO ITU?!"
Sebuah tonjokan keras menghantam dada Rion, laki-laki itu tidak membalas hantaman dari aldi. Ia tertunduk dalam seperti orang bodoh, memang ia sangat bodoh. Sedangkan Aldi mengacak rambutnya frustasi.
.
"Bidadarinya abi tunggu sini sebentar, abi mau beli brownis dulu." Mauren mengangguk mengiyakan, pasti sekarang ia sedang berada di seberang toko brownies langganan sang abi. Gadis itu tersenyum geli mengingat abinya menggemar brownis coklat garis keras, hampir setiap hari Fikar membeli brownis.
Mauren memegang erat paper bag berisi hadiah untuk Uminya yang hari ini akan berulang tahun. Senyumnya mengembang, ia tidak sabar ingin memberikan hadiahnya nanti malam. Semoga saja Alma menerimanya.
"Halo cantik," seorang pria tiba-tiba menghampiri Mauren.
"Kamu nggak bisa ngeliat? Wuihh sasaran empuk nih," ucap pria lainnya. Ternyata ada dua pria yang menghampirinya, jantung gadis itu berdegup sangat kencang. Sang abi masih berada di toko kue dan ia sendiri di sini, di dalam hatinya ia terus berdoa semoga Sang abi cepat kembali.
"Minggir, jangan macam-macam!" sentak Mauren memundurkan langkahnya.
Sebuah tangan mengelus pipinya. "jangan galak-galak dong cantik," ujarnya diiringi tawa yang mengerikan.
"PERGI!" teriak Mauren sangat ketakutan. Sial, Sang abi tidak kunjung kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUTALA
Teen Fiction"Saya hanya gadis buta dan hina, penuh kekurangan. Untuk apa kamu mendekati saya? Apakah hanya ingin mengejek saya?" "Arutala," ucapnya tiba-tiba sambil tersenyum simpul menatap gadis di depannya. "Nama saya Mauren!" . "Anak umi, sholehahnya umi...