ARUTALA 28 | Mengungkit Masa Lalu

149 12 7
                                    

Assalamu'alaikum yeorobun!!!

Udara dingin menusuk tubuh bak pedang yang dihunuskan sang satria pada musuh. Sinar bulan berpendar menelusup diantara awan yang lancang menghalangi, seakan memberi isyarat pada bumi bahwa ada hati yang sedang terluka. Isakan tangis yang begitu pilu terdengar sangat lirih menahan rasa sesak.

Mauren bersembunyi dibawah selimut sambil memeluk hadiah yang harusnya sudah pindah tangan. Namun, tanpa hati nuraninya sang ibu menolak secara mentah-mentah dan kata yang mencekat bagai belati.

"Sehina itukah aku dimata umi?"

Pecahan kaca sudah berada digenggamannya sejak beberapa menit lalu, ia menggenggamnya dengan erat membuat darah segar keluar tanpa permisi. Tangan cantik gadis itu dihiasi dengan merahnya darah. Perlahan ia menggoreskan sisi tajam itu pada lengannya yang mulus, menyalurkan gundah dan sesak.

"Ini untukku yang buta dan hina." Satu sayatan berhasil terukir di sana, ia tertawa menyaksikan darah yang mengalir.

"Ini untuk aku yang dibenci umi."

"Ini un--"

Brak!!

Srettt!

Pintu terbuka dengan paksaan, sebuah tangan mengambil pecahan kaca dari tangan Mauren kemudian membuangnya sembarangan menggagalkan lukisan ketiga pada tangan gadis itu. Tangis Mauren pecah begitu saja saat tubuhnya direngkuh dengan hangat. Usapan pada kepalanya membuatnya nyaman dan tentram, beban dipundaknya seakan terangkat separuh.

"Jangan lakukan hal bodoh lagi Mauren Sayeeda," ucapnya lembut namun penuh penekanan.

Maheer melirik lengan adik kembarnya yang sudah dilumuri darah segar. Ia pun segera mengambil kotak p3k, dengan telaten Maheer membersihkan darahnya kemudian membalutnya dengan kain kasa.

"Mauren, bertahanlah. Kamu jangan kayak gini," ucapnya sambil menghapus jejak-jejak air mata di pipi gadis itu.

"Nggak bisa, A. Aku ga punya tempat buat ngeluapin semuanya, aku ga bisa menghirup udara untuk nenangin diri kayak dulu. Gada cara lain lagi, A."

"Kata siapa ga ada jalan? Kamu bisa bilang Aa kalo kamu butuh udara untuk nenangin diri, Aa bisa ajak kamu keliling Bandung di tengah malam. Aa tau kamu suka keluar malam itu untuk nangis, Aa tau Mauren."

"Aku gak mau Aa dibenci umi karena selalu ngebantu aku," ucapnya.

Seseorang mendengar percakapan keduanya, sejak Maheer memasuki kamar Mauren ia berdiri di sana untuk mengintip. Betapa sesak dadanya, namun ia tidak bisa apa-apa. Ia pun pergi dari sana sambil menahan air mata.

.

Alma berbaring diatas ranjang membalut tubuhnya dengan selimut, membelakangi Fikar yang masih duduk di sopa denga  tatapan tajam ke arah sang istri. Pasokan oksigen di ruangan ini seakan sudah habis, udaranya begitu mencekam. Aura emosi dari Fikar sangat kentara menyerap oksigen sekitar, membuat Alma tidak nyaman.

"Alma!"

Deg. Alma yang sejak tadi pura-pura tidur rasanya dihantam oleh ribuan anak panah. Tidak pernah sekali pun Fikar memanggilnya dengan nama seperti ini. Rasanya oksigen semakin menipis, Alma tidak menghirup udara dengan nyaman.

"Saya tahu kamu belum tidur," ujar Fikar intonasinya sedikit menurun.

Tubuh Alma membeku, ia tidak bergerak sedikit pun. Mengabaikan ucapan sang suami. Memang benar, ia tidak tidur.

Fikar berusaha mengolah emosinya agar tidak meletup begitu saja dan bisa berbicara dengan kepala dingin. Ia tidak mau semuanya menjadi semakin runyam seperti saat Mauren terkena rumor yang membuatnya marah besar.

ARUTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang