Jidan melirik arloji ditangannya, sudah hampir pukul 9 malam yang artinya sudah hampir setengah hari sejak terakhir kali ia berhubungan dengan orang tuanya. Terakhir yang ia tau mereka tengah berada di bandara untuk pulang, tapi sampai saat ini mereka masih belum sampai. Padahal jika dihitung, perjalanan menggunakan pesawat sampai ke kotanya ini hanya sekitar 3 jam.
Jidan masih setia menemani Regan bersama dengan Juan. Ia hanya modar mandir dadi tadi, membuat Juan jenuh melihat dirinya yang terus saja bergerak.
"Bolak balik mulu, ngapain deh bang ?", tanya Juan namun tidak digubris oleh Jidan.
"Abang lo kenapa ju ?", sahut Regan.
"Ngga tau, kaya orang linglung mondar mandir doang", balasnya pada Regan.
"Samperin Ju, gue pusing liatnya", Juan pun lantas mendekati Jidan, menepuk pundaknya dengan sedikit keras.
"Apaansi, sakit anjir", umpat Jidan sesaat setelah Juan menepuk pundaknya.
"Lagian ngapain si mondar mandir mulu, kaya orang ngga ada kerjaan. Oh iya, papa sama mama sampe mana bang ? Katanya tadi udah jalan kesini kan ? Apa delay pesawatnya ?", tanya Juan yang lantas membuat Jidan terdiam sejenak.
"Iya delay, tungguin aja", jawabnya seadanya yang membuat Juan tak puas.
"Ngga niat banget jawabnya, lo kenapa si ? Kaya orang banyak pikiran aja. Pad--", ucapan Juan terpotong karena Jidan yang lebih dulu berucap.
"Lo diem deh, gue lagi pusing. Jangan banyak omong, suara lo brisik", ucap Jidan dengan emosi. Regan dan Juan tentu terkejut mendengar Jidan yang tiba-tiba emosi. Keduanya tak mengira jika candaan Juan dibalas dengan serius oleh Jidan.
Jidan yang menyadari bahwa dirinya berbuat salah pun lantas keluar dari ruangan tanpa mengatakan apapun. Meninggalkan Regan dan Juan dengan rasa penasarannya.
"Lo oke ju ?", tanya Regan yang melihat Juan terdiam.
"Kaget dikit, ngga papa", balasnya sambil mengacungkan jempolnya.
"Lo disini sendiri dulu ya Re ? Gue susulin bang Jidan bentar", Regan mengangguk. Toh tak apa jika dirinya sendiri disini. Ini rumah sakit, pasti aman. Pikirnya.
Juan lantas menyusul perginya Jidan. Sampai akhirnya ia menemukan Jidan yang tengah berada di sisi rumah sakit yang nampak sepi. Jidan tengah sibuk dengan ponselnya, dapat Juan lihat jika berkali-kali Jidan menempelkan ponsel miliknya ke telinga, menandakan bahwa ia tengah menghubungi seseorang.
Juan mendekat, meski lirih, Juan mendengar Jidan tang terus menyebut mama dan papanya yang mana itu juga orang tuanya. Juan merasa ada yang tak beres, sesuatu yang tengah Jidan sembunyikan.
"Mama papa kenapa bang ?", tanya Juan sambil terus mendekat ke arah Jidan, membuat Jidan sedikit terkejut. Jidan diam, ia tak tau apa yang tengah terjadi pada orang tuanya, tapi prasangkanya mengatakan sesuatu yang buruk tengah terjadi pada keduanya.
"Mama papa ngga kenapa-napa kan ?", tanya Juan lagi.
"Bang", panggilnya.
"Gue ngga tau Ju ! Mama sama papa ngga bisa dihubungin dari siang tadi. Mereka bilang udah mau take off tapi sampe sekarang sama sekali ngga ada kabar. Gue udah tanya sekretaris papa, sama orang-orang yang papa kenal, tapi ngga ada yang tau", terang Jidan dengan frustasinya.
"Lo boong kan ?", tanya Juan yang nampak tidak percaya.
"Ngga anjing, ngapain gue bercanda soal ginian", detik berikutnya, tanpa Jidan duga, Juan berlari ke arah parkiran rumah sakit. Dengan susah payah ia mengejar Juan, ia tau Juan pasti akan nekat untuk mencari orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RED THREAD
Fanfiction[DISCONTINUE] Darah, nyawa, jerit dan tangis seakan menjadi sebuah kesenangan bagi keduanya. Ruangan putih polos dengan jajaran lemari kaca, menjadi saksi bagaimana gilanya mereka berdua. Bertemu dengan lima orang asing, tumbuh bersama dan membaur...