Hari ini kelas melukis sudah dimulai. Juan akhirnya ikut dalam kelas ini. Kini ia tengah bersama dengan Regan, sedangkan Sean, ia tengah pulang untuk mengambil alat lukis yang ia punya. Pagi tadi ia terburu-buru karena kesiangan bangun, jadi ia lupa membawa alat lukisnya.
Kelas seni ini dilakukan di luar jam pelajaran, dan wajib bagi setiap muridnya untuk mengambil satu jenis seni. Boleh saja mereka memilih dua atau ketiganya sekaligus, asalkan bisa maksimal mengerjakan ketiganya, sekolah tak akan mempermasalahkan itu.
"Juan, kenapa ngga lo ngambil dua sekalian? Kan boleh", tanya Regan saat mereka sampai di ruang seni.
"Cape Re, takutnya malah keteter nanti", jawabnya singkat.
"Ooh, btw kayanya lo jadi agak pendiem akhir-akhir ini. Sean sampe ngadu ke gue, katanya lo jadi pendiem. Lo ga ketempelan kan Ju? Secara tempat les dance lo ditengah gedung gedung sepi gitu", jelasnya.
"Eh? Kok lo tau tempat les gue?", tanya Juan heran.
"Dari bang Saga, gue pernah lewat dan bang Saga bilang itu tempat les lo. Tapi beneran Ju, itu sepi banget. Kaya lokasi-lokasi yang biasa buat kejahatan gitu, mana gelap ", Juan yang mendengar itu hanya tersenyum miris.
"Jadi, lo ke-- ", belum sempat Regan melanjutkan kalimatnya, guru seni mereka datang. Dan tak lama Sean juga sampai disana.
"Tepat waktu banget Se", sapa Regan pada Sean yang nampak terengah-engah.
"Diem lo", ketusnya, sedangkan Regan hanya tertawa menanggapinya.
--------------------------------------------
Pulang sekolah ini Juan masih berada di ruang seni lukis. Regan sudah pulang lebih dulu, dan itu ia yang meminta. Juan masih sibuk dengan kanvasnya, Juan hanya sendiri disini karena hanya dia yang belum selesai dengan tugas seni lukisnya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.48, buru-buru Juan merapikan akat lukisnya, karena pukul 17.00 semua ruangan akan dikunci.
Ia berjalan menuju sudut ruangan tempat menyimpan karya-karya mereka.
Atensinya teralihkan pada satu lukisan dengan dominan warna merah dan coretan-coretan abstrak disana seakan membentuk sebuah simbol atau makna sesuatu.Juan memperhatikan dengan seksama. Dengan hati-hati ia coba untuk mendekati lukisan itu, karena dapat ia ketahui jika lukisan itu masih basah, jadi ia harus hati-hati agar tak merusaknya.
Ia sudah berhati-hati, namun sialnya, saat mendekat langkahnya tiba-tiba tidak seimbang, dan tanpa sengaja, tangannya menyentuh lukisan itu.
"Ck, sialan. Jadi kotor gini, mana lukisannya kena dikit, duh gimana", paniknya. Memang lukisan yang tadinya nampak indah dengan keabstrakannya, kini nampak sedikit berantakan karena jejak dari telapak tangan Juan.
Juan berniat memperbaiki lukisan itu dengan catnya, ia mencoba mengamati dengan seksama warna itu, karena saat ia cocokke dengan warna merah yang ia punya, warna itu nampak lebih gelap.
Ia kini mendekat, bahkan wajahnya sampai ia hadapkan ke lukisan itu. Seketika ia kaget, ada sesuatu yang aneh dari lukisan itu. Ia mengamati tangannya yang terkena cat itu, ia mencoba mencium aroma dari cat itu.
Anyir, bau anyir
Walaupun samar, dapat ia tau jika itu adalah bau anyir. Bau anyir darah, ia tau betul. Bau itu sama seperti bau darah. Ia berniat mencari tau siapa pemilik lukisan itu, karena lukisan yang terpajang disini, tak hanya miliknya atau milik teman sekelasnya, tapi hampir tiga angkatan, semua lukisan dipajang disini.
Ia berniat membalik lukisan itu, namun tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Juan?", panggilnya.
Tubuh Juan meremang mendengar panggilan itu. Suara itu, suara milik seseorang yang akhir-akhir ini menjadi alasan baginya kesulitan tertidur bahkan merasa was-was.
Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, dengan susah payah ia coba untuk berbalik.
"I-iya ?", jawabnya gagap.
"Lo ngapain?", ucapnya sambil mendekat pada Juan. Belum sempat ia menjawab, ia sudah tau karena melirik tangan Juan yang nampak kotor dengan cat.
"Hm? Tangan lo kotor, lo--", ucapannya terpotong karena Juan yang lebih dulu berucap.
"Gue ga sengaja, beneran gue ga sengaja", ucapnya berulang kali. Juan merasa keadannya akan lebih buruk jika ia terus berada disana, ia berniat kabur, namun.
Hap.
Tangannya kini di cekal oleh orang itu.
"Lo harus tanggung jawab, Hanjuan. Lo rusakin lukisan gue, dan lo harus jadi gantinya", ia berucap dengan santai, namun amat menyeramkan bagi Juan.
Sebisa mungkin Juan mencoba lepas dari cekalan itu. Berulang kali ia mencoba, namun tak bisa. Orang itu semakin kuat memegangnya.
Juan pasrah, mungkin hari ini ia akan pulang dengan penuh luka, atau bahkan ia tak pulang hari ini. Pikiran buruk kini terus memenuhi kepala Juan. Ia pasrah, cekalannya semakin kuat, bahkan kini mereka tengah berhadapan.
Juan menutup matanya saat orang itu merogoh sesuatu dadi sakunya. Mungkin pisau? Cutter ? atau alat lain. Yang pasti itu adalah benda tajam. Ia sudah menyerah, namun tiba-tiba
"Loh kok kalian masih disini? Ini sudah jam 5, semua ruangan harus ditutup. Kalo masih ada yang mau diselesaiin, selesain di tempat lain aja, sekolah jam 5 sudah ditutup soalnya", mendengar itu Juan bernapas lega, setidaknya ada peluang untuk dirinya kabur.
"Ah iya maaf pak, ini saya lagi nemenin temen saya ngumpulin lukisan. Udah kan Ju? Ayo pulang", ucap orang itu dengan manis sambil merangkul Juan.
Ia terus merangkul Juan, hingga akhirnya sampai di luar ruangan, Juan melepas rangkulan itu dan langsung lari menjauh dari nya.
"Hm? Mau kabur? Lo ga bakal bisa jauh dari gue, Juan. Lo aja ketemu gue sungkan, tunduk lagi sekarang. Gue tau lo lemah, Hanjuan. Julukan aja anak taekwondo, tapi mental lo bahkan ga jauh lebih baik dari seorang anak SD", ucapnya sambil menatap punggung Juan yang semakin menjauh.
Juan terus berlari hingga akhirnya ia sampai di gerbang sekolah. Beruntung, bus datang tepat saat ia sampai disana, ia buru-buru masuk. Persetan soal janji dengan Jidan yang bilang akan datang menjemputnya, terlalu lama ditempat itu hanya akan menempatkannya di posisi yang berbahaya.
Bus melaju meninggalkan sekolah, dari ekor matanya dapat ia lihat jika orang itu masih menatap padanya, dan melambaikan tangannya. Mungkin bagi orang lain itu nampak lucu, namun tidak bagi Juan, ia malah merasa ngeri dengan sikapnya itu.
Juan menumpukan badannya di kursi bus itu, ia menghela napas lega. Setidaknya untuk hari ini tak ada luka yang ia dapat. Baru saja ia merasa lega, tiba-tiba handphonenya bergetar.
Gue maafin lo kali ini, tapi kalo lo macem-macem, gue gaakan segan untuk bertindak nglakuin hal yang sama
Gimana? Kaget ya? Warna darah emang ga pernah ngecewain, gue jadi penasaran, gimana kalo darah punya lo yang gue pake? Pasti bagus.
Kapan-kapan kita nglukis bareng ya? Gue jadi pelukisnya, dan lo jadi kanvasnya. Hihi, pasti seru. See you, Hanjuan.
Juan bergidik ngeri membaca chat itu, sepertinya hidupnya tak akan tenang setelah ini. Ah tidak, ralat, sejak kejadian malam itu. Juan mengusap wajahnya gusar, ia merutuki dirinya sendiri karena terlalu penasaran malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RED THREAD
Fanfiction[DISCONTINUE] Darah, nyawa, jerit dan tangis seakan menjadi sebuah kesenangan bagi keduanya. Ruangan putih polos dengan jajaran lemari kaca, menjadi saksi bagaimana gilanya mereka berdua. Bertemu dengan lima orang asing, tumbuh bersama dan membaur...