Trust

330 39 44
                                    

Saat ini Hesa tengah bersama Sean di halaman belakang mansion mereka. Sean masih sibuk dengan tugas lukisnya. Sedangkan Hesa hanya mengamati sambil menemaninya.

"Udah gue bilang gausah masuk lukis, batu sih lo", ucap Hesa sambil melempar kacang yang ia punya.

"Brisik banget, kalo ga niat nemenin mending gausah, sana masuk aja", usir Sean.

"Ngga, sumpek gue didalem", tolaknya.

"Yaudah diem, gausah banyak omong. Dari pada ngomel mulu, bantuin kek, lo kan dulu ambil seni lukis juga"

"Ngga, nanti nilai lo bagus", ucap Hesa sombong.

"Ninti nilii li bigis, alah boong, orang gambar lo jelek. Sebelum dinilai juga pasti udah di tolak sama gurunya", cibir Sean.

"Oh? Mau tanding kah? kita buktiin gambar siapa yang lebih bagus", tantang Hesa.

"Oke, kalo gue menang lo harus kasih hadiah ke gue", jawab Sean.

"Eleh, easy", ucap Hesa meremehkan. Kemudian terdengar gelak tawa dari mereka berdua.

"Oiya, Juan gimana? Jadi lo samperin?", tanya Hesa.

"Engga, gue sama Regan gajadi, biar istirahat aja, kasian gue", terangnya.

"Oh iya bang, Nanti anterin gue ke tempat Regan. Nglukis bareng, boleh?", tanya Sean.

"Tumben lo izin, silahkan sih. Asal jangan sembrono, tau batas, jangan malu-maluin", pesan Hesa.

"Dih? Gue pemalu gini dibilang malu-maluin? Mana pernah sih gue malu-maluin", tanyanya sambil menunjukkan wajah tengilnya.

"Gue gampar ya lo, muka lo beneran minta di slepet. Lo tau sendiri Saga orangnya gimana, gausah banyak tertingkah", tegurnya.

"Iya, santai sih", setelah itu ia membereskan alat lukisnya dan lantas bersiap untuk pergi ke tempat Saga.

-------------------------------------

Sean dan Hesa telah sampai di tempat Saga, mereka tengah menunggu tuan rumah untuk membukakan pintu.

"Regaaann !!", panggilnya sekali lagi yang lantas dibungkam oleh Hesa.

"Sean, gue bilang jangan malu-maluin anjir", Sean hanya nyengir mendapati omelan dari Hesa.

Tak lama Regan datang dan membukakan pintu untuk mereka dan mempersilahkan mereka untuk masuk. Regan mengajak mereka menuju halaman belakang, tempat ia biasa melukis. Disana telah ada kanvas miliknya yang sudah ia beri sketsa tipis.

"Saga mana Re? Kok ga liat", tanya Hesa.

"Lagi pergi bang, gatau deh akhir-akhir ini sering banget pergi ketemu sama temennya katanya. Gue kira pergi sama lo bang", terang Saga.

"Oh, temen skating paling", tambah Hesa yang lantas diangguki oleh Regan.

Kemudian keduanya memulai kegiatan melukisnya dengan Hesa yang mengawasi keduanya.

"Lukisan lo bagus juga Se, lo sering nglukis ya?", tanya Regan.

"Engga, mana pernah gue nglukis. Yang ada gue dicengin sama tu setan", ucap Sean sambil menunjuk Hesa.

"Tapi teknik lo bagus juga, maksud gue lo kaya ga kaku dan luwes gitu lho. Dan pemilihan warna lo juga bagus", puji Regan pada Sean.

"Ah bisa aja lo, tuh bang dengerin, gue emang ada bakat sih", sombong Sean pada Hesa.

Setelah itu tak ada lagi obrolan dari mereka, hingga akhirnya Regan membuka suara.

"Bang, Se, kalian tau ga si, ada kasus pembunuhan baru", ucap Regan disela-sela kegiatan lukisnya.

"Hah? Kok lo tau Re?", tanya Sean.

"Dari bang Saga, dia semalem pergi kan, trus pulang pagi lah. Nah pas pulang, di jalan katanya dia liat kerumunan gitu. Eh pas disamperin ternyata mayat. Kondisinya hampir kaya yang anak sekolah waktu itu lhoo. Dikakinya juga ditali benang merah, sama bibirnya dijait juga pake benang itu", terang Regan panjang lebar.

"Ih kok serem banget, kaya film-film gitu ga sih. Kirain itu cuma fiksi, ternyata ada sekarang?", tanya Sean.

"Ya itu buktinya ada. Lo bilang tadi apa Re? Benang merah?", tanya Hesa.

"Iya, semacam sign gitu menurut gue bang", terang Regan.

"Tapi maksudnya apa ya? Apa mereka pengin diakui? Atau mereka berniat nunjukin eksistensi mereka?", tanya Sean.

Ketiganya lantas berpikir.

"Hmm, who knows. Gue yakin pasti ada maksud lain dari pelaku. Kalian hati-hati ya. Jangan gampang percaya sama orang, bisa aja mereka pura-pura baik cuma buat kamuflase. Terutama lo Re, kalo Sean sih bodo amat, mau dibawa juga gue malah bersyukur", tambah Hesa sambil menggoda Sean.

"Anjing lo bang !! Merusak suasana serius. Re, abang lo buka lowongan buat adek baru ga sih. Gedeg banget gue jadi adeknya Mahesa", ucap Sean pada Regan yang lantas dihadiahi geplakan dari Hesa.

"Kayanya kalo adeknya modelan kaya lo, bang Saga gamau nampung deh Se. Sorry ya", Regan pun ikut menggoda Sean. Reaksi Sean yang lucu saat mereka goda merupakan salah satu kesenangan bagi mereka.

Menurut Regan, Sean adalah orang yang jarang marah. Ya, walaupun ia mudah tersulut emosi, namun emosi yang ia tampakkan itu ia tujukan untuk bahan candaan. Bukan emosi yang sebenarnya.

-------------------------------------

Saga tengah bersama seseorang di sebuah cafe. Ada hal penting yang perlu ia bicarakan dengannya. Dan menurutnya hanya dia yang bisa ia ajak diskusi saat ini.

"Gimana? Kalau terus pake cara itu kita bisa ketahuan. Tapi gue juga ga punya cara lain selain itu", keluh Saga.

"Tenang, situasinya masih belum mungkin buat kita bertindak lebih jauh. Toh ga terlalu genting buat kita. Gue masih bisa ngawasin dan handle dia kok. Dia masih ada di jangkauan gue, jadi ya gue rasa ga bakal terjadi aneh-aneh"

"Lo udah nglakuin rencana lo?", tanya Saga.

"Udah, dan dia masih bungkam. Gue ga nyangka dia bakal setakut itu"

"Ck, nanti tolong lo coba lagi", suruh Saga dan ia hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Makasih banget lo mau jadi partner gue. Gue butuh sosok kaya lo, yang bisa berpikir lebih dewasa. Kayanya kalo gue nglakuin itu sendiri, yang ada gue dalam bahaya sekarang.

Umur kita emang ga terpaut jauh, cuma pikiran lo lebih dewasa dari gue, bisa berpikir jernih, dan selalu mikirin semual hal mateng-mateng. Soal masalah gue, yang tau cuma lo. Gue ga mungkin libatin dia dalam masalah ini.

Gue disini sebagai abang dia, udah seharusnya gue jagain dan lindungin dia. Gue gamau gagal yang kedua kalinya, jadi gue harap kita bisa selesain semua kali ini. Gue mohon sama lo, Azka. Kita selesain ini semua sama-sama", Ya, rekan yang Saga maksud adalah Azka. Ada sesuatu yang tengah ia urus bersama Azka, sesuatu yang besar.

Azka yang mendengar itu hanya mengangguk, karena ia merasa ini juga jadi urusannya. Hal ini tak bisa ia biarkan terlalu lama, karena ia pikir, jika terlalu lama berpikir dan menunda-nunda, nantinya hanya akan memunculkan penyesalan pada akhirnya.

RED THREAD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang