JALUR KEDUA

29 3 0
                                    


Selesai memberitahu ibunya tentang mundurnya tanggal cuti, Zea mencoba menemukan jadwal keberangkatan yang masih bisa menampung dirinya supaya bisa mudik tahun ini.

Siapa tahu, ada orang yang sama seperti Zea, mengganti jadwal secara mendadak. Batas akhir masih besok, karena tiket Zea berangkat lusa. Tapi meski begitu Zea harus sering mengecek web pemesanan, mencegah supaya tidak tersalip calon pemudik yang lain.

Perebutan tiket mudik seperti ini sudah menjadi hal wajar menjelang lebaran. Orang-orang memilih memesan tiket jauh-jauh hari sebelumnya untuk mencegah kehabisan tiket.

Itu juga yang Zea lakukan, tapi sekarang Zea juga harus merubah jadwal keberangkatan itu. Yang tadinya lusa, masih harus enam hari lagi.

"Percuma itu web lo liatin, kagak ada yang berubah!"

"Ganggu mulu sih, Ham!" kesal Zea pada ejekan Hambar, yang meja kerjanya sisi kanan dari Zea.

"Langsung datang aja ke stasiunnya, minta pengembalian dana. Habis itu cari tiket bus. Jarang banget kereta bisa rubah jadwal gitu. Yang ada lo gak pulang kampung, Ze!"

Zea melongo menatap Hambar, yang di tatap malah asik mengetik. "Maksudnya gimana, Ham?" tanya Zea.

"Bloon banget!" Ciri khas Hambar, sarkas. "Lo kalau mau, bisa refund alias batalin tiketnya ke stasiun. Cari tiket bus sesuai tujuan lo. Ganti transportasi, Neng! Dari kereta ke bus. Kalau lo nunggu mulu kagak gerak, gue jamin besok raya lo sendirian di kosan!"

Membayangkannya saja Zea merinding. "Rumah lo sama Sawo kan deket!"

"Gak terima tamu macam lo rumah gue!"

"Gue juga!" Sedari tadi diam ternyata menyimak juga Sawo, "Khusus rumah gue terblokir sama kedatangan lo, Ze!"

"Sialan kalian berdua!"

Kompak, memang sangat kompak mereka. Baik Sawo yang terjuluki karena bekalnya dulu selalu buah itu, padahal nama aslinya masih misteri untuk Zea.

Ya, Sawo bukan nama asli. Sebab Zea termasuk junior di sini, dirinya tidak tahu pasti siapa nama aslinya.

Name tag yang menggantung di leher tertera nama Sawo, namanya unik namun aneh. Awal berkenalan pun sudah di katakan bukan nama asli oleh rekan kerja Zea yang lain. 

Kalau Hambar, bukan karena bekalnya selalu hambar atau tidak ada rasa. Tapi Hambar bukanlah julukan, melainkan plesetan. Hamzah Budianto.

Sejarah nama Hambar cukup menyenangkan untuk di simak, tapi kini Zea lagi-lagi di buat kesal karena Sawo mengejek Zea tiba-tiba.

"Liatin cowok tuh jangan segitunya, kaki dia napak Ze. Itu bukan setan yang lagi lewat!"

Zea tidak bermaksud, ia hanya melihat seseorang yang ia tahu bernama Azka itu hari ini kembali mengunjungi Pak Susanto.

Ya, bosnya. Zea memukul Sawo dengan pulpen, yang tentu saja tidak sakit. "Lagi puasa tuh, berhenti gangguin orang juga harus. Batal puasa lo!"

Perkataan Zea bukannya menakuti Sawo, malah membuat Sawo tertawa kencang. "Definisi lagi pelajaran agama, dia tidur! Yang membatalkan puasa itu, Makan dan minum, berjimak di siang hari, keluar darah atau haid. Muntah dengan sengaja, murtad dan gila. Tidak ada menganggu orang itu membatalkan puasa, Neng, apalagi orang itu lagi gak puasa!"

Dan sekarang definisi di ceramahi di tengah-tengah rasa lapar yang Zea tahan untuk menghargai mereka yang puasa.

Bukannya merasa dapat ilmu, Zea ingin melahap Sawo mentah-mentah. Menatap tajam arah dimana kepala Sawo berada, Zea mendekat dan mulai berbisik, "Gue lapar, mau makan, lo ikut gak?"

Mudik Jalur Selatan (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang